Mencari Jalan

64 6 2
                                    

"Kau sebaiknya keluar..." lirih, antara tega dan tidak, kalimat itu melontar begitu saja setelah mereka terdiam dalam waktu yang cukup lama.

Rasa tak enak segera menjalar ke hati orang yang dia minta keluar. Orang ini turun dari ranjang. Lagi-lagi menghadap sudut itu. Sudut yang...

"Apa sesulit itu mengucapkan bahwa kau suka padanya?" Orang ini memutar badan, berusaha mengontrol emosi. Dia menyambung pikirannya dengan kata yang diucapkan.

Tertarik, si pengusir menatapnya lewat sudut mata.

"Apa maksudmu, aku tidak mengerti." Dia mengubah kalimatnya dari hendak bertanya menjadi bukan pertanyaan. Wajahnya dibuang ke arah lain dengan sinis.

"Kau suka Maiza kan, Qi? Karena itu kau tidak pernah gabung lagi."

Sekali terucap, menohok. Kepala si pemuda menoleh dalam hitungan kaget.

Yah, itu Arqi. Arqi yang sedang berhadapan dengan Ipul. Ipul melipat kedua lengan depan dada. Tatapan Ipul seperti menangkap basah sekaligus membenci Arqi. Lagaknya bagai seorang yang galak hendak memalak.

Arqi menelan ludah. Lidahnya seakan ingin melontarkan sesuatu. Namun nalurinya memergoki dan menegur: buat apa kamu cerita? Dia bukan siapa-siapa.

Arqi berhenti menatap Ipul dan melihat ke depan. Di balik selimut, jari-jari tangan kanannya bermain galau.

Ipul membiarkan. Dia menarik kursi keluar dari bawah meja belajar Arqi. Itu kursi bundar yang dapat berputar tanpa sandaran. Warnanya biru.

Ipul menghela nafas. Duduknya seperti seorang bapak yang menghadapi anaknya. Kedua tangannya bertahan pada paha. Bahu jadi penopang leher dan kepalanya yang lemas.

"Kau bodoh, Qi." Ia mengubah posisinya menjadi bersandar pada sudut lemari dan meja. Lengan kirinya di atas meja sementara punggung jari telunjuknya menempel pada mulut.

"Kau menyisihkan kami. Kau menyisihkan Maiza karena perasaanmu. Itu benar-benar bodoh, Qi."

"Selamat kau sudah dapatkan hatinya Maiza! Sekarang silahkan tinggalkan aku sendiri!" Kalimat Ipul malah disambut Arqi dengan nada sangat marah.

Arqi berusaha tidak membuatnya besar. Dia tidak ingin siapapun di luar sana mendengarnya. Matanya tertutup saat berbicara, tapi siapapun itu akan sanggup menerka bagaimana kesalnya pemuda ini.

Tak diduga, kursi bundar itu malah jatuh berbaring di atas lantai. Secepat itu pula Ipul meninggalkan kursi. Saat Arqi membuka mata karena suara kursi yang bergeser, Ipul sudah menggenggam bajunya. Tubuh Arqi terangkat sedikit. Tinju kanan Ipul siap di udara. Tangan itu bergetar sementara wajah Ipul berurat-urat bagai aktor vampir yang siap melahap makanannya.

Arqi tidak berkedip. Tidak pula takut. Sebaliknya, ia merasa senang. Bukan senang yang gembira, tetapi senang karena sudah lama menunggu seorang lawan. Senyum mengejek pun muncul di wajahnya.

Ipul menyadari itu. Marahnya menjadi surut. Tangannya perlahan melepas Arqi. Dia duduk di atas kasur itu. Kaki satunya masih di lantai, jadi ia menghadap sandaran ranjang Arqi. Foto tawa Maiza terpaksa hadir di sudut penglihatan.

Ipul mendengus.

"Kita kayak orang bodoh, Qi."

Mata Ipul mengarah ke foto itu.

"Berhenti menatap fotonya. Kau juga punya di rumahmu."

Kalimat itu membuat Ipul berdecik, "Mau sampai kapan kamu bersikap anak-anak?"

Ipul lebih dulu kembali tenang. Ia mengambil foto itu, memperbaiki kursi, lalu kembali ke tempatnya. Dia hanya bisa menatap benda itu sebentar karena yang punya menariknya cepat. Tangan Ipul seperti tergores sesuatu, tetapi itu diabaikan begitu saja.

Remaja 26 (Dilanjutkan Part2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang