Aku memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar rumah Eyang, namun masih di dalam gerbang. Rumah Eyang memang sangat besar, Eyang bahkan memiliki lebih dari satu dapur. Seperti yang aku pernah katakan, rumah Eyang adalah bangunan dengan campuran modern dan Jawa kuno, dengan sedikit nuansa Belanda. Beberapa bangunan sudah dibangun menggunakan batu bata, namun beberapa masih terbuat dari kayu.
Aku sendiri, berjalan berkeliling hanya sebagai salah satu usaha untuk menghalau kejadian tadi siang, yang terus-menerus menghantui pikiranku. Aku masih ingat betul setelah Jatayu menjelaskan bahwa dirinya dan perempuan genit yang baru aku tahu bernama Dewi, Jatayu merapatkan duduknya. Kulitku bersentuhan dengan kulitnya, dan hembusan nafasnya terasa sangat dekat di tengkukku. Jika saja Arjuna tidak masuk kembali, maka mungkin saja kami sudah—, lupakan Sen! Ya Tuhan bantu aku melupakan! Aku melihat sebuah ayunan, tergantung diantara dahan pohon jambu. Di belakangku ada kandang ayam dan menthok yang luas, dibatasi oleh pagar kayu. Kandang bebek dipisah, karena bebek setiap pagi dibawa oleh salah satu pegawai Eyang menelusuri sawah. Jalan-jalan pagi lha. Bebek kan bertelurnya tiap pagi. Eh, kalian tahu kan dalam setiap rombongan bebek, pejantannya paling hanya ada satu atau dua? Bebek betina juga tidak pernah mengerami telurnya sendiri. Kenapa aku malah membahas bebek?
Aku duduk di sana, mengayunkan ayunan ke depan belakang tanpa minat. Apakah aku jatuh cinta pada Jatayu? Aku menyukainya, iya, aku mengakui. Aku suka senyum culasnya, lesung pipinya. Namun aku juga harus sadar bahwa dia playboy. Penjelasannya tentang Dewi terkesan dibuat-buat. Aku harus tahu faktanya dari Dewi sendiri! Belum lagi desas-desus yang beredar di lingkungan sekolah. Jatayu terkenal karena, okay, ini kata orang-orang, bukan kataku, ya, well, Jatayu terkenal karena ketampanannya, —sekali lagi, aku tekankan, ini kata orang. Aku tidak pernah menganggap Jatayu tampan, — dan memiliki banyak pacar.
Okay. Keputusanku sudah bulat, aku akan menemui Dewi. Meminta penjelasan darinya, versinya.
Aku bangkit dari ayunan, melangkah dengan pasti menuju ke pintu belakang, yang paling dekat dengan tempatku sekarang berada. Namun baru beberapa langkah, aku mendengar jejak kaki mengikutiku di belakang. Aku mencoba melangkah satu kali, dan siapapun orang yang berada di belakangku, mengikuti juga satu kali. Wajahku pias. Aku tahu, seharusnya aku lari, lari sekencang mungkin hingga masuk kembali ke dalam rumah. Namun, entah apa yang merasuki, aku malah menengok ke belakang. Bodoh! Aku selalu mengutuk tindakan bodoh di film-film horor, kini, aku melakukan kebodohan itu sendiri. Luar biasa!
Ada anak kecil berambut pirang, membawa sebuah boneka yang rambutnya sebagian sudah hilang, boneka tersebut juga sedikit gosong, seperti habis terbakar. Anak kecil, berambut pirang dengan mata sebiru lautan, menatapku tajam dan dingin. Ketika aku berkedip, dia menirukanku. Wajahnya tidak seram sebetulnya, tapi aku sadar dia juga bukan manusia. Auranya gelap. Dia memakai baju terusan warna hitam dengan rok mengembang. Rambutnya dikepang, dan diletakkan ke depan lewat bahu kiri. Tiba-tiba dia melemparkan bonekanya ke arahku. Tanpa diberi aba-aba, aku langsung lari masuk ke dalam rumah. Ya ampun. Jadi selain kuntilanak, disini juga ada noni-noni Belanda? Kenapa tidak ada orang rumah yang memberitahuku? Kenapa?
Aku masuk lewat pintu dapur, membuat beberapa Mbok-Mbok yang sedang menonton sinetron di dapur melonjak kaget. Aku sedang tidak mood menceritakan kepada kalian kenapa di dapur Eyangku ada televisi, aku baru saja ditakut-takuti setan, for God's sake! Yang anehnya, para Mbok-Mbok ini seperti paham jika aku baru saja ketemu setan. Ekspresi wajah mereka seperti mengatakan, 'Ah, akhirnya cucu Ndoro Putri ditemui juga', dan aku gusar karenanya.
Tiba-tiba perasaan takutku berubah menjadi amarah.
Aku yang tadinya akan berlindung ke kamar, langsung berubah pikiran. Aku berjalan pongah menuju ruang tengah, dimana Papa, Mama, Eyang, Pakdhe, Budhe dan beberapa Mbok-Mbok lain yang dekat dengan Eyang, tengah menonton televisi. "Baru saja Seno lihat anak kecil bule, di belakang. Di dekat ayunan pohon jambu." Papa menatapku, seperti ingin mengatakan sesuatu. Namun Eyang dan Pakdhe sama sekali tidak menggubrisku. "Seno bakal balik ke Jakarta." Mama kali ini mengalihkan tatapannya dari layar televisi ke arahku. "Seno nggak mau tinggal di sini!! Di sini angker!!" Kenapa mereka sama sekali tidak bersuara? "Atau ke Manado, ikut Tante Sahira." Tante Sahira adalah adik Mama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Erlangga di Bawah Kaki Sumbing (TamaT)
Fiksi RemajaAku Arseno, baru lulus SMP, dan harus migrasi dari ibukota Jakarta, ke sebuah dusun terpencil dari bagian kota kecil. Dan disinilah, ceritaku dimulai. (Cerita ini fiktif, jika ada kesamaan nama tokoh, tempat, dan kejadian, mohon dimaafkan karena buk...