Bagian 02. Hei! Kondisikan dong, Senyumnya!

12.8K 1K 116
                                    

Sebelum makan malam, aku memeriksa kembali persiapanku untuk menghadapi MOS besok pagi. Seragam putih biru, cek. Tas selempang warna putih, cek. Kaos kaki putih, sepatu hitam, cek. Okay. Aku mandi sebentar sebelum keluar kamar. Hari ini Eyang menyajikan bebek goreng sebagai menu utama. Dengan sayur asam, dan mendoan. Ditambah sambal korek. Beberapa hari disini, aku semakin jatuh cinta dengan setiap makanan yang disajikan Eyang setiap harinya. Papa sekarang sudah mulai bekerja, sebagai dokter di rumah sakit kota ini. Sedangkan Mama membantu Pakdhe Danan untuk mengurusi keuangan hasil perkebunan, hasil panen padi dan tembakau, dan hasil panen lainnya. Budhe Tinah menjaga toko grosir dan eceran milik Eyang yang terletak di pusat kota. Biasanya, Budhe Tinah akan berangkat jam tujuh pagi dan pulang jam lima sore, setiap hari. Tidak masalah jika Budhe Tinah meliburkan diri sebenarnya, toh, itu toko miliknya sendiri.

Sebenarnya ini sudah memasuki bulan Ramadhan, namun Eyang dan hampir semua orang di rumah ini tidak melaksanakan ibadah puasa. Sepertinya, Islam hanya menjadi pajangan identitas di ktp saja. Eyang masih mempercayai kepercayaan jaman dulu. Sedangkan aku, aku tidak begitu memedulikan agama. Namun, di Indonesia kita diwajibkan memeluk agama yang disahkan oleh pemerintah, bukan? Jadi, kebebasan beragama yang dijamin pemerintah itu menurutku bohong belaka.

"Tin, krungu ra nek Tumirah saiki meteng?" Satu hal lagi yang sudah mulai aku hapal saat makan malam, Eyang dan Budhe Tinah yang saling berbagi gosip. "Lha padahal kan bar cerai karo bojone? Lha kok malah meteng!"

Budhe Tinah yang tadinya akan menyuapkan nasi ke mulutnya, membatalkan niatnya. "Lha iyo, Bu!" Budhe Tinah ini memang kompornya Eyang. "Jare, wong penyebab cerainya yo iku, Tumirah selingkuh!" Aku menatap Mama, Papa dan Pakdhe Danan yang sepertinya tidak ingin ikut-ikut bergosip. "Rumore Bu, selingkuhane kui Pak Burhan, lha kae sopir angkot mburi omah, kae!" Berbagi gosip ini tidak akan selesai sampai Tukang Bubur Naik Haji atau Raden Kian Santang tayang di televisi. Aku menyudahi makan malamku, pamit pada Eyang, kedua orang tuaku dan Pakdhe, Budhe, aku ijin untuk keluar sebentar.

"Jangan keluar sendiri, Ngger!" Eyang melap bibirnya dengan sapu tangan. "Jun, Arjuna!" Teriakan Eyang bisa jadi mengganggu seluruh warga dusun saking kencengnya. "Nandi iki bocah, diceluk, ora njedhul-njedhul." Saat Eyang akan berteriak lagi, munculah seorang pemuda, aku taksir awal dua puluhan, berkulit bersih, agak coklat, tergopoh-gopoh menuju Eyang.

"Nggih Ndoro?"

"Koe kui seko ndi? Tak panggil-panggil ora nyaut?"

"Nembe siram, Ndoro." Aku memperhatikan memang rambut Arjuna masih sedikit basah.

Eyang mengangguk, "Yowes, iki kancani Seno, jare arep mlaku-mlaku." Arjuna menatapku, lalu menatap Eyang.

"Sakniki, Ndoro?"

"Bodho ngarep! Yo sekarang, tho!!"

Arjuna berdiri, lalu menatapku. "Monggo, Den Muda." Sekali lagi aku mengangguk dan pamit pada Eyang dan yang lainnya, sebelum mengikuti Arjuna keluar rumah. Rumah Eyang sendiri cukup besar. Bergaya campuran bangunan khas Belanda dan Jawa kuno. Halamannya luas, bisa untuk bermain bola, eh, bahkan kuda lumping pun bisa perform kemarin di halaman rumah Eyang. Ada tembok tinggi yang mengelilingi keseluruhan rumah Eyang, dengan gerbang sebagai satu-satunya jalan keluar. Gerbang itu besar dan dijaga oleh dua orang jika sudah menjelang malam. "Aden mau jalan-jalan sekitar kampung sini, atau ke kota?"

"Aku lagi pengen mie ayam, Mas." Aku memutuskan untuk mengimbuhi kata Mas sebagai sapaan, karena jelas Arjuna lebih tua dariku. "Masih ada yang buka nggak ya jam segini?"

Arjuna nyengir. "Banyak Den, di kota." Arjuna tersenyum sopan, "Sebentar saya siapkan motornya dulu."

"Aku juga ganti baju dulu deh."

Erlangga di Bawah Kaki Sumbing (TamaT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang