Bagian 33. Sebuah Akhir Bagian Kedua

6K 448 123
                                    

Aku frustasi. Teriakanku tidak bisa didengar Arjuna. Nampak Eyang dan Jatayu tergeletak begitu saja. Aku tidak tahu mereka masih hidup atau sudah mati. Namun jika mereka sudah mati, bukankah sekarang seharusnya aku melihat jiwa mereka keluar dari tubuh mereka? Masak masih ngedekem di dalam saja?

Kumelihat Pak Cik dan Pak Sasmono menyerah, mereka sepertinya tidak sanggup untuk melawan Arjuna, Raminten dan rombongannya. Beginikah akhirnya? Aku menjadi arwah gentayangan? Bentar, kalau aku menjadi arwah gentayangan, manusia akan melihat wajahku menjadi menyeramkan seperti setan kebanyakan atau tetap ganteng seperti saat menjadi manusia?

"Seno . . ."

Aku menoleh, "Alun?" tanyaku pelan. Memastikan. Dia mengangguk. "Telat! Aku sudah mati," kataku lagi. Aku ingin kesal kepada Alun yang datang terlambat. Jika dia datang lebih awal aku mungkin bisa mengalahkan Arjuna. Aku berjalan melayang lalu duduk di atas salah satu dahan pohon. Mengamati mayatku, mayat Eyang dan mayat Jatayu, jika keduanya juga sudah mati sepertiku, di bawah sana dengan merana. Alun mengikutiku, dia duduk disampingku. Ya setan, kita berdua sudah mirip kuntilanak betulan nongkrong di atas pohon.

"Siapa bilang?" tanya Alun, membuatku menunjuk ke bawah, kalau-kalau Alun ini agak linglung dan rabun jauh, tidak melihat jasadku dari atas sini. Aku memperhatikan ragaku yang terbaring di atas tanah, menelitinya sedikit, seharusnya tadi aku sedikit pose, biar baringnya agak sedikit seksi. Alun tertawa malah. "Keris itu bagian dari dirimu tho, Cah Bagus? Ya mana mungkin itu bisa membunuhmu, Angger?" ujarnya.

"Tapi ini aku di sini lho, Alun. Jiwaku udah lepas dari tubuh fisikku," dumelku. Jadi, aku ini antara mau menangis karena aku mati. Namun sedikit bahagia karena Jatayu juga mati, kalau, namun dilihat dari bentukannya, sepertinya pacarku itu juga sudah tidak bernafas. Jadi, kami akan sama-sama ke neraka nantinya. Bisa lanjut pacaran di sana. Eh, tapi bukannya Pamanah punya kerajaan? Ngomong-ngomong kalau Jatayu mati, terus Pamanah kemana? Aku belum melihatnya. Tapi sudahlah, dia kan demit juga. Masak mau mati dua kali?

"Angger, ingat, saya adalah bagian dari diri Angger yang berada di dalam keris yang ditusukkan di dada Angger," Alun merenung sedikit, lalu terkikik. "Mungkin Gendhi lupa menceritakan kepada Angger, namun cara agar kita dapat bersatu adalah dengan menusukkan keris itu di diri Angger." Alun berdiri, "saya ndak pernah bilang prosesnya endak bakal sakit." Lalu Alun menggenggam kedua tanganku, membuatku ikut berdiri, "ikuti saya, Ngger."

"Sakehing lara pan samya bali
Sakeh ngama pan sami mirunda
Welas asih pandulune
Sakehing braja luput
Kadi kapuk tibaning wesi
Sakehing wisa tawa
Sato galak tutut
Kayu aeng lemah sangar
Songing landhak guwaning
Wong lemah miring
Myang pakiponing merak"

Tubuhku terasa ringan, mataku dan mata Alun beradu. Kalau ini aku dan Jatayu, kami pasti sudah berciuman. Mana tahan aku tatap-tatapan dengan Jatayu seperti ini tanpa ciuman? Namun mengingat Alun adalah saripati diriku sendiri, aku mual membayangkan kami berdua berciuman. Mana ada orang yang mau berciuman dengan diri sendiri?

Melalui matanya, aku melihat kilas balik masa lalu Tawang Alun, lalu masa laluku, pertempuran antara Rawa Broto dan Tawang Alun, semua informasi tadi merasuki otakku, beserta dengan energi baru. Semua wawasan yang Tawang Alun tahu, semua ilmu kebathinan yang dia kuasai, semuanya mengalir ke tubuhku. Perlahan-lahan, jiwaku kembali ke tubuhku, bersamaan dengan meleburnya Alun ke dalam tubuhku. Aku membuka kedua mataku, menggerakkan jariku, lalu mencabut keris yang sudah tak ada isinya tersebut dari dadaku.

"Kangmas Rawa Broto," ujarku ketika aku sudah bisa berdiri tegak, merasakan ilmu dan energi luar biasa mengalir di seluruh nadiku. "Pertarungan kita belum selesai, Kangmas," kataku sambil tersenyum.

Erlangga di Bawah Kaki Sumbing (TamaT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang