Bagian 32. Sebuah Akhir Bagian Pertama

3.7K 388 81
                                    

Aku melintasi pinggiran Rawa Bayu dengan perasaan bergidik. Ada yang mengawasiku. Seorang perempuan cantik berjarit batik dengan kebaya merah, menelaahku tanpa tedeng aling-aling. Energinya kuat, namun aku masih bisa menahannya. Dia tidak berani mendekatiku, hanya mengamatiku dari jauh.

Tempat ini mengandung aura menekan yang tidak main-main. Bukan hanya perempuan itu saja yang mengawasi tindak tandukku, ada beberapa pasang mata yang seperti penasaran dengan keberadaanku. Beberapa diantara mereka tak segan menguji ilmuku. Aku santai saja. Aku berpendapat bahwa jika memang salah satu dari kami tidak akan selamat, ya sudah, mau diapakan lagi? Dengan prinsip seperti itu, aku menjadi lebih santai menjalani hidup.

"Seno, hati-hati," Jatayu merangkul bahuku lembut. Aku hampir tergelincir, karena masuk terlalu jauh dalam lamunan. "Senonya Kak Atha mikirin apa?"

Aku menggeleng menanggapi pertanyaan Jatayu, "Gak ada apa-apa, Kak."

Sore ini Rahayu mengajak kami napak tilas, mengunjungi tempat yang dipercaya terakhir kalinya Prabu Tawang Alun bersemedi sebelum moksa. Dari Rawa Bayu, kami terus menaiki bukit, hingga tiba di area pura yang sangat sunyi dan damai. Aku, entah mengapa, meraja déjavu, melirik Jatayu dan dia juga tengah menatapku. Rasa rindu itu menghantam dadaku dengan keras. Aku ingin memeluk Jatayu. Dan seperti mengerti, Jatayu membawaku ke dalam pelukannya.

"Ngger, wasuh dulu, sebelum masuk pura," kata Eyang menepuk pundakku. Aku mengangguk. Kami membasuh diri di sendang dekat dengan pura. Mencuci kaki, tangan, dan wajah. Pura di tengah yang dikelilingi oleh banyak pura itu berbentuk lebih kecil dibandingkan dengan pura yang lain, ditutup korden kecil. Aku bingung sendiri ketika semuanya tidak bergerak, mereka justru duduk bersimbuh di depan pura, dengan Eyang memberi kode bahwa hanya akulah yang akan masuk. Pelan-pelan, aku berjalan naik tangga, menyibak korden kecil, lalu berjalan sepelan dan sesopan mungkin, masuk lebih dalam.

Aku duduk bersila di tengah, lalu termenung sesaat. Apa yang harus aku lakukan? Eyang sama sekali tidak membekaliku apa-apa, tidak memberi nasehat apa yang boleh dan tidak boleh aku lakukan di dalam sini. Maksudku, bolehkah aku memutar musik? Bolehkah aku menari seperti Nagini di dalam gua? Aku sebenarnya lagi pengen banget chattime, ya ampun.

Akhirnya, aku memilih duduk diam hampir sepuluh menit, sesekali balas pesan whatsapp dari Feri, kakiku bahkan sudah merasakan sedikit kesemutan. Sudah boleh keluarkah? Lalu ketika aku ingin meluruskan kaki, untuk mengurangi gejala kesemutanku, kilatan cahaya putih itu menyambarku begitu saja. Pandangan mataku gelap, tubuhku seperti diputar dan diaduk-aduk. Perutku mual. Seperti naik wahana tornado, bedanya, aku seperti dibawa oleh angin tornadonya langsung. Serasa dikocok-kocok. Jadi ini yang dirasakan buah-buahan ketika aku memblender mereka? Aduh, iphone baruku jatuh deh.

Setelah beberapa saat tubuhku seperti dijatuhkan dari ketinggian. Menghantam tanah dengan keras. Aku mengucek mataku, mengedip beberapa kali, dan sedikit bingung dengan tempat dimana aku berada. Aku tadi berada di dalam pura, dikelilingi bebatuan, sekarang entah mengapa aku berada di lahan hijau terbuka. "Angger Arseno," aku menoleh demi ingin tahu siapa yang memanggilku. Sosok itu tampan, gagah dengan atasan terbuka. Putingnya berwarna kecoklatan, eh kenapa aku fokusnya ke situ? "Akhirnya kita bertemu, Ngger," katanya lagi. Aku hanya menatapnya bingung. Sok iye deh nyapa-nyapa. Kenal juga kaga. "Saya adalah kamu, bagian dari ingatan masa lalumu," He? Bentar-bentar, ini aku bukan lagi main sinetron kan ya? Ini aku tidak bakalan ditanyain 'man rabukka?' kan ya? Belum juga aku sepenuhnya sadar dimana aku sekarang, memahami siapa sosok dihadapanku ini, tiba-tiba gerombolan kuda dengan panji-panji berkibar, mereka berderap di hadapanku. "Ini adalah perang saudara antara Tawang Alun dengan kakaknya, Rawa Broto," aku menatap sosok di depanku ini penuh tanda tanya. Jadi, dia membawaku ke masa lalu? "Beliau adalah Tawang Alun," sosok tampan itu menunjuk seorang gagah yang mengendarai kuda hitam besar yang sama gagahnya, "beliau, adalah kita," pungkasnya.

Erlangga di Bawah Kaki Sumbing (TamaT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang