Bagian 28. Toilet Membawa Nikmat

7.1K 673 204
                                    




Tatapan mataku fokus dengan layar handphone yang aku pegang dengan tangan kanan, sementara tangan kiriku menggenggam botol plastik berisi minuman pop ice rasa bubblegum. Sesekali aku menaikkan tangan kiriku, mendekatkan sedotan plastik pop ice ke bibir, mencecapnya sesaat, namun pandangan mataku juga tangan kananku tetap fokus dengan layar smartphone-ku, menelusuri jejak twitter. Aku sedang duduk di atas bangku panjang tepat di depan ruang guru, setelah tadi di dalam kelas aku disuruh menghadap beliau, karena ketahuan makan mentimun. Dan dibuat menunggu sekarang karena guru yang bersangkutan sedang rapat. Bangku panjang ini berwarna coklat dengan ukiran ala kadarnya di sisi kiri dan kanan. "Seno?" Secara reflek, karena namaku dipanggil, kepalaku mendongak, mencari asal suara yang menyerukan namaku penuh dengan nada penyesalan. "Boleh aku bicara, sebentar?"

Aku menghembuskan napas perlahan, "silahkan, Kak." Pramudya tersenyum pahit sebelum mengambil duduk di sampingku. Sejak kejadian ibunya yang menyakitiku dengan ilmu hitam, aku belum pernah bertemu Pramudya dimanapun. Cerita sebenarnya, selain karena aku sibuk, aku memang menghindarinya. Karena aku tidak tahu harus bersikap bagaimana di depan Pramudya. I mean, terakhir bertemu dengan Raminten, dia ingin mencelakaiku lho, bukan ingin ngeteh-ngeteh sambil mengobrol tentang brondong idaman. Wait a minute. Aku dong brondong idaman.

"Ibuku sekarat, Sen," bisik Pramudya. Jika tempat ini ramai, aku bisa jadi melewatkan kata-kata Pramudya yang baru saja dia bisikkan karena saking lirihnya. "Aku tahu, ibuku pernah bermaksud jahat sama kamu, dan aku meminta maaf. Tapi kamu harus tahu, ada cerita mengapa ibuku begitu dendam pada Raden Pamanah. Mengapa ibuku begitu membenci ibunya Jatayu." Aku diam. Karena jauh di dalam lubuk hatiku, aku tahu bahwa Raminten memang tidak seluruhnya salah. Ada cerita mengapa dia membenci Raden Pamanah. Namun memaafkan Raminten begitu saja, aku juga tidak sanggup. Dia bukan bermaksud jahat lagi, dia memang sudah jahat! Padahal aku tidak ada sangkut pautnya dengan masa lalu Raminten. Kalau Pamanah naksir aku sekarang, memang salahku? Salah teman-temanku? "Aku minta tolong agar kamu bisa meminta Raden Pamanah untuk menyembuhkan ibuku, Sen." Jujur aku tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Mustahil aku menyuruh Pamanah yang sakti untuk menuruti permintaanku, pun, aku tidak ada niat ingin menyembuhkan Raminten. Ada sedikit rasa senang yang mencuat ketika tahu Raminten sekarat. Dan aku membenci diriku sendiri karena kesenangan tersebut.

"Kak . . . ."

"Seno!" perkataanku terpotong oleh teriakan Pak Tri yang ternyata sudah selesai rapat. Dia memberiku kode agar segera masuk ke ruang guru. Aku membuang pop ice yang hanya bersisakan es batu saja, menepuk bahu Pramudya pelan lalu berjalan gontai memasuki ruang guru. Aku celingukan sebelum akhirnya menjatuhkan diriku ke atas kursi di depan meja milik Pak Tri. Pak Tri menatapku sebentar sebelum fokus kembali dengan beberapa kertas dihadapannya. "Sen, Bapak ingin bertanya sesuatu," katanya kemudian setelah dia membereskan kertas-kertas hasil ulangan yang sudah dia beri nilai. "Kamu tahu Hendra kenapa?" Lha? Aku kira aku dipanggil karena makan mentimun di kelas. "Bapak perhatikan, dia jadi pendiam, namun nilai-nilainya mendadak bagus semua. Hendra memang pintar, namun tidak sepintar ini." Eh, ini maksudnya gimana, Pak Tri? "Kamu kan teman dekatnya, mungkin kamu tahu penyebab Hendra jadi lebih murung? Apa karena Ayahnya yang baru saja meninggal? Hendra trauma? Kamu tahu kan bahayanya anak remaja yang sedang depresi?" Seandainya mengatakan bahwa Hendra dirasuki demit gampang, tidak dianggap gila dan bisa dipercaya, aku mungkin dengan senang hati akan menceritakan kejadian yang sesungguhnya.

"Hendra tidak cerita apa-apa ke saya, Pak." Aku baru menyadari, mungkin bukan hanya Pak Tri saja yang mulai menyadari ada yang berbeda dengan Hendra. Apalagi, Hendra terkenal kepo dan penuh semangat. Namun, menyuruh Pak Semar menjadi dan bertingkah seperti Hendra . . . . sepertinya memindahkan sebuah gunung terlihat lebih dapat direalisasikan. "Tapi nanti saya akan coba korek-korek." Janjiku. Ini adalah tipe atau jenis janji palsu yang dikatakan agar cepat terbebas dari masalah. Mirip seperti ketika Mamaku memintaku untuk bangun lebih pagi dan aku jawab dengan lantang, IYA! Namun keesokkanya aku tetap saja bangun kesiangan. Benar, jenis janji seperti itu, dikatakan agar segera bisa kabur dari pertanyaan, agar bisa lekas berlalu dari serbuan pemaksaan. Aku yakin kalian sering melakukannya.

Erlangga di Bawah Kaki Sumbing (TamaT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang