Bagian 01. Halo, Gue Arseno! Gue anak orang terhormat di kampung, lho!

21.5K 1.2K 193
                                    

Gue tahu kalian selalu punya gambaran sendiri tentang tokoh-tokoh yang gue ciptakan. Tapi ini Raden Mas Arseno Erlangga Prawiro, versi gue

 Tapi ini Raden Mas Arseno Erlangga Prawiro, versi gue

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


***

Aku menatap ke samping jendela, mengagumi pepohonan yang berjejer acak namun rapi di tepi jalan. Sedangkan jalan yang ditempuh penuh kelokan dan beberapa kali menanjak, dan sesekali menurun. Aku baru saja terbangun, perjalanan dari Jakarta menuju Ngumbulan, salah satu dusun terpencil di kota kecil Temanggung, yang ditempuh dengan mobil, cukup melelahkan. Dan aku tertidur semalam setelah mampir sebentar di rest area, sementara Papa dan Mama saling bergantian mengemudi. Kami melewati jalanan yang di pinggirnya berubah menjadi seperti pasar dadakan. Banyak sayur segar digelar di sana. "Masih lama nyampainya, Pa?"

"Sebentar lagi, Sen."

Kami berangkat tadi malam, dengan beberapa kali berhenti. Kami tidak sedang mudik, karena lebaran sudah lewat. Papa dan Mama memutuskan untuk tinggal di dusun, menemani Eyang Putri yang beberapa bulan lalu ditinggal Eyang Kakung. Tentu aku tidak menyetujui keputusan ini begitu saja, aku sempat ngambek, meradang, mogok makan, namun sia-sia. Keputusan Mama dan Papa sudah bulat. Papaku sebenarnya bukan anak satu-satunya Eyang, Papa masih memiliki kakak. Pakdhe Danan, begitulah aku memanggil kakak dari Papa. "Ini daerah mana, Pa?" Nama lengkapnya Dananjaya. Raden Gusti Dananjaya Prawiro

"Ngadirejo. Tinggal beberapa jam lagi. Kalau kamu capek, kamu tidur dulu." Papa menengok dari depan, menatap wajahku. "Nanti Papa bangunin." Lalu menatap Mama yang masih tertidur pulas di samping. "Tuh Mamamu saja masih ngorok." Aku menyembunyikan senyumku. "Terima kasih ya, Sen."

"Seno nggak punya pilihan, Pa."

"Papa tetap berterima kasih."

Menjelang siang, mobil kami sudah memasuki gerbang dusun Ngumbulan, terlihat bendera lelayu diikat disamping patung kokoh berbetuk seperti tokoh-tokoh wayang. Apa namanya? Buto ijo. Iya. Mungkin. Sekeliling kami banyak pepohonan, jarak satu rumah dengan rumah lainnya cukup jauh. Hebatnya, sejelek apapun rumahnya, pasti akan ada halaman rumah yang cukup luas di depannya. "Sen, lihat ke depan, ada kuda lumping." Aku menoleh ke depan, menatapi beberapa pria muda kekar yang dibalut seragam aneh. Mereka memakai rok yang terbuat dari semacam batik. Jarit bukan, namanya? Dengan celana kolor selutut di baliknya. Mereka semua bertelanjang dada, namun penuh dengan aksesoris. Gelang dengan banyak kerincingan seperti tukang sate. Kalung yang sangat besar melingkari leher, hingga menutupi sebagian dada atas. Lalu hiasan kepala yang terbuat dari bulu-bulu ayam, atau bulu-bulu lain, aku kurang paham, tapi yang jelas bukan bulu kemaluan. "Eyang mungkin masih berpikir kamu suka dengan kuda lumping, Sen."

Erlangga di Bawah Kaki Sumbing (TamaT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang