Bagian 23. Musuh dalam selimut.

6.7K 711 240
                                    

Eyangku tadi sempat bercerita tentang riwayat keluarga Prawiro. Dimana dulu, kami hanyalah warga biasa, hingga Suwarni Prawiro pada zaman dahulu kala, melakukan semedi dan puasa di tempat kemarin yang ditunjukkan oleh Eyang itu lho. Dan disanalah Eyang Buyut Buyut Buyutku itu bertemu Raden Pamanah. Dilanda nafsu ingin menjadi orang besar dan berada, Suwarni Prawiro membuat perjanjian dengan Pangeran Pamanah. Ya, perjanjian yang diwariskan turun-temurun. Suwarni lalu dinikahi oleh Raden Bagus Yastro Prawiro karena bantuan Raden Pamanah, dan berganti nama menjadi Raden Ageng Suwarni Prawiro. Aku mendesah pelan, berguling-guling sebentar di atas kasurku. Pada zaman dahulu mungkin perjanjian seperti itu lumrah, lha zaman sekarang? Dimana Nokia tengah menuju kebangkrutan dan Samsung mulai mendominasi pasar smartphone, perjanjian tersebut terkesan mustahil terjadi. Aaah! Seharusnya Pangeran Pamanah diwariskan kepada keturunan perempuan, namun nyatanya Pangeran Pamanah doyan dua-duanya. Dasar rakus!! Lagipula, sudah dua generasi keluarga Prawiro tidak memiliki keturunan berjenis kelamin perempuan. Dari Papa dan Pakdheku, sekarang aku. Semuanya laki-laki.

Pikiranku kembali melayang ke pikatan, tadi sore. Walaupun saat itu aku mememeluk Jatayu, kemudian menciumnya, namun sekarang aku kembali dilanda dilema. Aku perlahan-lahan mulai paham apa kata Eyang dan Pramudya, aku dan Jatayu ditakdirkan bersama, karena perjanjian terkutuk. Yang aku salah tanggapi adalah, bukan Jatayu versi Kak Athaku yang ditakdirkan untukku, namun Jatayu versi Sang Pangeran. Demi menuruskan perjanjian keluarga. Demi agar keluargaku tetap bergelimang harta, paras menawan dan kekuatan. Aku mengubur wajahku ke dalam empuknya bantal guling, lalu mengerang agak keras setelahnya. Tanganku memukul-mukul kasur di sisi kanan dan kiriku. Aku mungkin bisa lari, namun bukankah percuma? Maksudku, Sang Pangeran kan setan, dia tidak butuh pesawat untuk mencariku. Mungkin dia punya karpet terbang atau koco benggolo yang dulu pernah dipakai Mak Lampir. Atau sapu terbangnya Harry Potter yang dulu hancur, dirakit ulang oleh Sang Pangeran? Nimbus 2000 bukan, itu yang hancur? Lagipula kenapa juga Harry tidak jadian saja dengan Hermione? Oke, aku melantur.

Aku melirik jam duduk di atas meja belajarku. Setengah enam. Jatayu akan menungguku di depan gapuro sehabis maghrib. Namun, jika dipikir-pikir, apa Sang Pangeran tidak kepanasan? Setahuku, Jatayu rajin shalat, puasa kemarin full, tidak ada yang bolong. Tahu ah, manusia saja susah dimengerti, apalagi setan!

Pergi? Tidak? Pergi? Tidak? Pergi? Tidak?

"Aaaaaaaargh!" Teriakku sambil menjambak rambutku frustasi! Please ya, ini cobaan hidupku lebih berat dari hanya sekedar PR Kimia!

"Sen?!" Edward melongok dari pintu kamarku. "Kalau mau lahiran, yuk gue anter ke bidan!"

Aku melemparnya dengan bantal guling. "Sialan!"

Edward menangkap bantal guling yang aku lempar ke arahnya tadi sambil tertawa, lalu bergabung denganku di atas kasur. "Lagian lo teriak-teriak gitu. Gue kira udah pecah ketuban lo! Udah bukaan duapuluh." Memang kalau lahiran sampai bukaan duapuluh? Ngawur ini Edward!

"Ketuban gundulmu!" Tawa Edward makin kencang. Apa aku tidak jadi pergi saja? Namun pasti Jatayu akan kecewa. Aku memutar arah tidurku, lalu kembali larut ke dalam lamunanku yang sempat diganggu Edward tadi. Kalau dipikir-pikir, Sang Pangeran ini jugalah alasan Mary tidak pernah menampakkan dirinya pada Jatayu. Pak Semar yang levelnya di atas Mary saja tidak akan menampakkan diri di hadapan Jatayu kalau tidak dipanggil, apalagi Mary yang levelnya masih ecek-ecek. "Gue bingung nih, Ed!" Edward menatapku dengan tatapan bertanya-tanya. "Gue diajak kencan sama pacar gue. Bingung gue mau temuin dia apa nggak."

"Temuin dong!" Aku mengangkat kepalaku yang sedari tadi aku benamkan ke dalam bantal, menatap Edward yang justru sedang sibuk membaca majalah Trubus. "Eh, Anes masih sering nanyain elo tuh. Kangen katanya. Lo gemesin." Halah! "Tapi lo emang gemesin ya, sini cubit dulu, sini, pakai linggis!"

Erlangga di Bawah Kaki Sumbing (TamaT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang