Bagian 25. Raminten

7.5K 718 165
                                    


Pak Semar mengambil alih tubuh Hendra sementara waktu sebelum Raden Pamanah memutuskan hukuman apa yang tepat untuk Hendra. Aku sebenarnya ingin membantu Hendra, maksudku meminta agar Raden Pamanah meringankan hukumannya apapun yang akan nanti dia terima, toh dia pernah menjadi temanku walaupun sebenarnya hanya modus, tetapi jika mengingat kembali apa yang sudah dia perbuat padaku, aku urung. Eyang sudah jarang beraktifitas, walaupun masih sehat. Aku? Aku mulai direcokki banyak sekali buku-buku Jawa kuno. Eyang sepertinya sudah tidak sabar agar aku bisa mempelajari semua aji-aji tetek bengek itulah. Yang aji kebal lha, yang bisa melukai orang dari jarak jauh, macam-macam dah, suer banyak banget. Abdi-abdi setia Eyang sudah mulai menyiapkan acara perkawinanku dengan Jatayu. Meresmikan penurunan 'suami' dari Eyang ke dalam diriku.

Bersamaan dengan itu, Temanggung digegerkan dengan kematian Bapak Agung Marespati. Iya, bapaknya Hendra. Menurut dugaan polisi, Agung dan kawan-kawannya, diserang oleh binatang buas. Mungkin hanya aku dan Jatayu yang tahu kejadian sebenarnya. Dan Hendra, kalau dia tidak dirasuki Pak Semar. Hingga hari ini, kasak-kusuk bahwa Agung Marespati dibunuh oleh Eyang Gendhi pun tersebar. Mereka ternyata sudah bermusuhan sejak lama. Dan kematian Agung yang tidak wajar, —masak iya, di kota kecil begini ada binatang buas?— membuat warga sekitar mulai berspekulasi.

Eyang sendiri sepertinya tahu siapa yang membunuh Agung, hanya beliau menyimpannya untuk dirinya sendiri. Tidak menanyaiku batang sepenggal kata pun.

Edward? Dia sudah pulang ke Manado, namun nanti akan hadir saat aku kawin dengan Pangeran Pamanah. Yang Edward tahu, aku menikahi Jatayu, bukan karena hal mistis atau perjanjian tetek bengek. Ini kenapa aku keranjingan memakai bahasa tetek sih? Aku kan tidak suka tetek!

Pernikahan siriku disusun oleh Mama dan Eyang. Papa justru tidak tahu apa-apa dan sama terkejutnya denganku saat kami diberitahu. Sekarang ini, aku dalam masa pingit. Tidak boleh bertemu dengan Jatayu. Pernikahanku sendiri akan diadakan di telaga angker tempat pertama kali aku diewek Pangeran Pamanah, sama seperti dulu pernikahan keluarga Prawiro dengan Raden Pamanah generasi sebelum-sebelumnya. Dihadiri keluargaku, orang-orang kepercayaan Eyang, dan keluarga Jatayu. Pernikahan ini tidak akan tecatat di lembaga hukum dan KUA manapun, namun sifatnya permanen dan mengikat. Aku nantinya diwajibkan memiliki keturunan jika ingin perjanjian ini berlanjut. Jadi, suatu saat aku pun harus mencari wanita untuk bisa meneruskan darah keluarga Prawiro.

"Sen?" Aku menoleh, menutup buku beraksara jawa yang tengah aku baca. Rasanya sudah lama Papa tidak memanggil namaku. "Seno masih marah sama Papa?" Aku menggeleng, yang membuat Papaku tersenyum dan berani masuk lebih dalam. "Sore nanti temani Papa mancing, yuk?" Mancing? Sejak kapan dokter bedah Abimanyu suka memancing? Namun aku mengiyakan saja. Itung-itung untuk berdamai dengan orang tuaku sendiri. Aku menghabiskan siangku dengan makan siang, lalu lulur —ingat, aku sebentar lagi akan menikah, jadi kesehatan kulit harus dijaga— dan dipijat oleh Mbok Dharmi sekarang. Pijatan ini konon kata Mbok Dharmi bisa membuat ototku rileks saat malam pertama dengan Raden Pamanah nanti. Hahaha, tidak tahu saja Mbok Dharmi ini kalau aku sudah sering begituan baik dengan Jatayu maupun Raden Pamanah.

Baru menjelang jam tiga, aku pergi bersama Papa dan Arjuna. Aku memutuskan untuk mengenakan celana chino pendek, bermotif belang. Tangtop berwarna putih, topi berwarna putih, dan sepato boots warna belang. Sepatu ini lumayan tinggi, agak mirip dengan sepatu yang dipakai oleh Gon di Hunter X Hunter. Tangan kananku membawa alat pancing, yang ternyata bisa dipendekkan dan dipanjangkan sesuai selera. Arjuna menjinjing ember yang nanti akan digunakan untuk tempat ikan, kalau dapet ya. Hahaha. Sedangkan Papa membawa umpan. Umpan kami berupa cacing yang hidup di pelepah-pelepah pisang. Cacingnya sendiri tadi ditaburi irisan bawang putih dan bawang goreng, lalu dibungkus daun pisang. Kata Arjuna dan Papa, biar lebih gurih dan ikannya lebih doyan. Dalam hati, aku hanya mampu bilang, YA KALEUS!! Kami memancing di sungai besar, masih di kawasan dusun Ngumbulan. Dari sawah Eyang, kami turun lebih jauh, lalu karena sungainya besar namun airnya hanya sedikit, kami harus turun agak ke bawah masuk ke sungainya. Paham tidak?

Erlangga di Bawah Kaki Sumbing (TamaT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang