Bagian 13. Pelan-Pelan

8.7K 773 91
                                    

Aku sadar benar motor Feri mengikutiku dari belakang, dan membuatku sedikit terharu. Feri masih mengkhawatirkan aku. Sementara Jatayu, membawa Satria F-nya dalam diam. Belum ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya sedari aku membocengnya tadi. Aku mengulurkan tanganku, memeluk pinggang Jatayu. Tubuhnya yang biasanya hangat, kini terasa dingin di telapak tanganku. Aku khawatir Jatayu masih marah. Untungnya, Jatayu tidak menepis tanganku, tangan kirinya bahkan beberapa kali menggenggam kedua tanganku yang bertemu di perutnya. Ada rasa aneh, setiap kali Jatayu menggunakan telapak tangannya untuk menggenggam tanganku. Tubuh Jatayu pun berangsur-angsur menghangat.

Feri mengklaksonku ketika aku berbelok memasuki gapuro kampungku, sementara Feri mengambil laju lurus. Rumah sepi, ketika kami tiba. Eyang katanya pergi kondangan, Papa masih di rumah sakit. Mama dan Pakdhe Danan masih di gudang, sementara Budhe belum pulang dari toko. Aku mendapati Pak Karyo tengah bermain catur dengan salah satu pemuda yang sering menjaga gerbang pintu depan. Aku melangkah memasuki rumah, dan Jatayu mengikutiku setelah memarkir motornya.

"Seno marah?" Aku sedikit terperanjat dengan nada lembut yang dilontarkan Jatayu, baru saja. Aku mengganti seragam trainingku dengan kaos tanpa lengan dan boxer pendek. Aku dan Jatayu sudah berada di kamarku. "Kak Atha minta maaf." Jatayu kini memelukku dari belakang. Aroma keringat bercampur dengan deodorant dan parfumnya aku suka. Kombinasinya pas, membuat Jatayu terasa maskulin tanpa terlalu memabukkan.

"Minta maaf buat apa, Kak? Aku nggak marah."

Jatayu terdiam. Kami hening dalam posisi berpelukan selama lima menit. "Semenjak dekat dengan Kak Atha, Seno sering kena masalah." Pelukan Jatayu makin erat. "Dikeroyok Pram, sekarang malah dilabrak Dewi."

"Aku kan sudah harus siap dengan resiko punya pacar seganteng Kak Atha." Pelukan Jatayu mengendur. Namun aku merasakan hawa hangat nafasnya di pangkal leherku. "Geli, Kak." Aku batal bertanya tentang Jatayu. Kecurigaanku menguap begitu saja.

"Jadi menurut Seno, Kak Atha ganteng?"

Aku tertawa. "Kayak selama ini Kakak nggak sadar saja kalau ganteng." Jatayu terkekeh, kali ini dia dengan gemas menciumi pipiku.

"Sadar kok." Baru kali ini aku melihat Jatayu tersenyum begitu manis. "Tetep rasanya beda kalau yang muji itu Senonya Kak Atha." Hari ini aku melihat begitu banyak sisi lain Jatayu. Tatapan mata dinginnya tadi, yang belum pernah Jatayu tunjukkan padaku. Lalu ini, senyum manisnya. Jatayu memperhatikan sekeliling kamarku, lalu kembali menatapku. "Rumah kamu lagi sepi nih." Deg. "Kak Atha mau dong."

"Mau mendhut, Kak?"

Jatayu tertawa lembut, tetapi kali ini tawanya sedikit sensual. Apalagi deru nafasnya begitu menggoda membelai kulitku dari jarak yang amat dekat. "Mau makan yang punya mendhut saja."

"Mbok Sopiah?" Aku masih pura-pura polos dan menggoda Jatayu. Padahal, aku mengerti betul apa keinginan Jatayu. Aku juga menginginkannya. Sudah lama, aku ingin melewati fase ini bersama Jatayu. Melepaskan keperjakaanku.

"Kamu bikin gemas, ya!" Jatayu menarik tubuhku mendekat. Jari telunjuknya mengangkat daguku. "Sudah lama, Kak Atha pengen nikmatin tubuhnya Seno." Dan ya, kami berciuman selanjutnya. Bibir Jatayu menempel di bibirku. Awalnya, lidah Jatayu hanya mengusap-usap, menjilat-jilat bibir bagian atasku, sebelum kemudian lidahnya menelusup masuk. Tanganku berpegangan pada pinggang Jatayu, sementara kedua tangan Jatayu masih dalam posisi memelukku, mengeratkan tubuh kami semakin rapat satu sama lain.

Nafasku terengah-engah saat kami melepaskan kedua bibir kami yang sedari tadi bertaut. Mungkin sekitar lima menit, atau lebih? Aku tidak ingat. Yang aku ingat hanyalah tekstur bibir Jatayu yang kenyal dan lembut. Jatayu mengambil langkah mundur, lalu melepas kaos trainingnya, kemudian melucuti celananya. Dengan bangga dia berdiri di hadapanku hanya dengan bercelana dalam. Aku pernah melihat Jatayu hanya dengan pakaian dalam, namun waktu itu, penis Jatayu tidak sedang dalam kondisi ereksi. Kali ini, aku bahkan bisa melihat garis samar bentuk penisnya dari luar celana dalamnya. Aku meneguk ludah. Besar. Milik Jatayu lumayan besar. Aku belum pernah melihat alat kelamin laki-laki lain. Tapi jika dibandingkan dengan milikku, maka penis Jatayu bisa dikatakan besar. Milikku standar, untuk ukuran laki-laki lima belas tahun. "Kak Atha mau lihat Seno telanjang, boleh?"

Erlangga di Bawah Kaki Sumbing (TamaT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang