Bagian 19. Anes

6.1K 581 86
                                    

"Kak Atha kangen." Aku tidak menyangka jika Jatayu akan menyusulku hingga Manado. Dia menginap di hotel dekat tempat Tanteku tinggal. Dan setelah Jatayu memberitahu dimana dia menginap, aku langsung menuju ke penginapan tempat Jatayu bermalam. Pacar gantengku itu nampak bugar, walaupun bulu-bulu halus mulai tumbuh di atas bibir merahnya. "Seno kangen Kak Atha juga, kan?" Aku mengangguk. Aku memang merindukannya. Setengah mati, kalau aku boleh berlebihan. Berapa hari aku tidak bertemu Jatayu? Satu minggu? Bibirku dan bibir Jatayu bertemu, aku merindukan tekstur kenyal bibirnya menempel di bibirku. Aku kangen lidah nakal Jatayu membelai rongga dalam mulutku. Kami mulai melepas pakaian satu sama lain dengan beringas. "Kali ini Seno yang masukkin Kak Atha, ya?"

Aku ragu, karena sepanjang hubungan kami, selalu Jatayu yang dominan. Namun aku tetap mengiyakan. Kami sudah lama tidak berjumpa, dan rasanya akan jahat jika aku tidak mengabulkan permintaannya. Aku melakukan apa yang biasanya Jatayu lakukan padaku sebelum proses anal, menyiapkan lubang pantat Jatayu agar siap. Aku me-rimming-nya dengan hati-hati, Jatayu melenguh sedikit. Membuatku berpikir bahwa dia menyukainya. Aku memasukkan satu jari, Jatayu merintih. Lalu dua jari. Kemudian saat Jatayu sudah nyaman, aku mulai melakukan penetrasi dengan penisku. Aku menikmatinya, aku tidak menyangka akan seenak ini rasanya.

Sayangnya gedoran pintu yang sangat keras membuatku kaget dan spontan ejakulasi. Jatayu yang berada di bawahku tersenyum menggoda, aku balas tersenyum. Tetapi tidak lama, karena senyum Jatayu lama-lama memudar. Bahkan sosoknya sedikit demi sedikit menghilang. Aku mengerjap-erjapkan mataku, meyakinkan diriku sendiri bahwa ini nyata, sementara gedoran pintu makin keras. "Bangun Arseno!! Sarapan!" Aku terbangun, menatap sekelilingku dengan bingung. Dan mendapati aku berada di kamarku di Manado, bukan di tempat penginapan Jatayu. Aku hanya bermimpi. Dengan desah kecewa, aku mengusap rambutku dengan kedua tanganku. Jelas aku bermimpi, seharusnya aku sadar, di mimpi aku nampak baru pertama kali menjadi topnya Jatayu. Padahal aku pernah melakukannya di curug lawu.  "Aku kangen Kak Atha." Lirihku pelan.

Aku membuka selimutku, mengabaikan celana boxerku yang basah akibat sperma yang tersembur karena mimpi basahku barusan. Aku melepas celanaku, melemparnya ke dalam keranjang cucian, dan masuk ke kamar mandi. Air dingin menyadarkanku ke dalam alam nyata. Kepalaku masih pening akibat mabuk semalam. "Heh Sen!" Aku melonjak. Sialan.

"Gue lagi mandi. Nggak lihat lo?"

Edward cengengesan. "Gue mau ngajakin lo jalan-jalan." Kepalanya semakin melongok ke dalam. Gue nggak takut, setahu gue, Edward straight. Lagipula, gue sepupunya. "Mulus anjir, ya lo!" Aku berbalik badan, dan mendapati Edward tengah cengengesan. Seingatku, kami berdua sama-sama mabuk semalam. Bagaimana bisa Edward sudah bugar sedangkan aku masih pusing walaupun sudah diguyur air dingin? "Gue tunggu di bawah ya! Buruan, jangan coli."

Aku mengangguk. Edward memperhatikanku atas bawah sebelum keluar dari kamar mandiku. Aku menyelesaikan mandiku dengan cepat. Mengenakan celana pendek selutut dan kaos lengan panjang. Rambutku masih setengah basah ketika aku bergabung bersama yang lainnya untuk sarapan. "Pulang jam berapa semalam, Sen?" Tanya Mama.

Aku melirik Mama sebentar. "Mama masih peduli?" Jawabku sambil mengambil nasi. Menu sarapannya ayam woku-woku, ikan cakalang, dan ada sambal bakasang. Mama terlihat akan mendebat jawabanku, namun Opa dan Oma sudah sibuk menanyakan rencanaku hari ini. Untungnya, Edward dengan baik hati menjawab pertanyaan Opa dan Oma untukku. Kebetulan, aku juga tengah malas membuka mulutku kecuali ada hal penting.

Aku menyelesaikan sarapanku dengan cepat, lalu membututi Edward, kemana saja asal tidak satu atap dengan Mama terlebih dahulu.

"Lo mau bawa gue kemana, sih?" Tanyaku akhirnya setelah motor yang dibawa Edward hanya memutar-mutar kota saja.

"Kita ke Klenteng Ban Hin Kiong." Edward menoleh ke arahku. "Berdoa buat elo! Buang sial juga."

Kami memasuki Kampung China, aku dengan mudah membaur dengan masyarakat sekitar karena secara fisik, aku tidak jauh berbeda dari penduduk asli. Aku kan mirip Mama, eh, sudah, jangan membicarakan Mamaku dulu, aku masih kesal. Kami tidak berdoa, aku pun hanya keliling sebentar. "Lo kenapa nggak semangat, Bro?" Edward mengulurkan satu biji bakpao padaku. Kami masih duduk di sekitaran Kelenteng. Baru besok, rencananya, bersama Kevin dan Arjuna kami akan ke Bunaken. "Itu isi babi. Lo makan babi, kan?"

Erlangga di Bawah Kaki Sumbing (TamaT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang