Bagian 16. Dirgahayu, Kabupatenku!!

7K 732 67
                                    

Jatayu menjemputku pagi-pagi sekitar jam sepuluh, seperti janjinya. Kami sarapan di depan alun-alun, dengan bubur ketan lopis. Enak! Tentang informasi yang diberikan oleh Pramudya kemarin, aku masih belum bisa menerimanya. Aku bisa saja menanyakan pada Jatayu, namun aku tidak ingin membebani pikirannya saat ini. Apalagi menanyakan apakah Jatayu spesies manusia atau bukan, konyol sekali. Dia adalah komandan utama tim Tonti kami, dan sore ini kami akan tampil. Tetapi sisi lain otakku mulai membentuk prasangka baru, apakah keluargaku tahu? Papa jelas kenal dengan Antasena, dan mungkinkah Papa pernah bertemu ayah dari Jatayu dan Antasena sebelum ini? Atau apakah Papa pernah bertemu Ibu Raminten, ibu dari Pramudya? Bagaimanapun juga, Eyang pernah ingin mengangkat Ibu Raminten menjadi anak, jadi bukan tidak mungkin Papa dan Ibu Raminten sudah pernah bertemu sebelumnya. Dan apakah Papa datang ke pernikahan Ibu Raminten dan Ayahnya Jatayu? Karena jika iya, berarti Papa seharusnya mengenal Ayahnya Jatayu. Tetapi, Papa tidak menunjukkan sudah kenal dengan orang tua Jatayu saat kemarin kami kondangan ke pernikahan Mas Sena. Ya Tuhan, banyaknya kemungkinan yang bisa saja terjadi membuat kepalaku pusing!

"Sen?" Aku mendengar panggilan itu sayup-sayup. "Sen!" Pipiku ditepuk-tepuk seseorang. Aku mendongak, lalu mendapati raut khawatir dari wajah Jatayu. "Kok buburnya nggak diabisin?" Aku linglung sebentar, lalu menatap ke bawah, dimana mangkuk buburku masih menyisakan setengah bubur lopis. "Seno sakit?" Aku menggeleng.

"Sudah kenyang, Kak." Aku memajukan mangkok buburku. "Kak Atha habisin." Jatayu mengangguk penuh semangat. Iya, kalau untuk urusan makanan, Jatayu memang langsung tanggap. Aku mengamati wajah Jatayu yang sedang sibuk menghabiskan sisa buburku. Benarkah Jatayu mendekatiku hanya ingin balas dendam terhadap Pramudya? Jika iya, bukankah apa yang dilakukan Jatayu sudah terlalu jauh dan terlalu manis? Jika Jatayu memang hanya ingin balas dendam, untuk apa dia bersikap baik dan perhatian padaku? Jika aku patah hati, itu lebih menyakitkan Pramudya, bukan? Namun Jatayu sangat manis. Aku tidak yakin Jatayu sepicik itu. Lebih tepatnya, aku tidak mau menganggap Jatayu seperti itu. Selama aku berpacaran dengannya, Jatayu sama sekali belum pernah mengecewakanku. "Kak?"

"Hmm?" Jatayu tidak mau repot-repot mengalihkan perhatiannya dari bubur lopisnya.

"Apa Kakak mengenaliku jauh sebelum kita bertemu di mading sekolah dulu?"

Jatayu menatapku lama, lalu menggeleng. "Senonya Kak Atha lagi banyak pikiran?" Tanyanya kemudian, raut wajah Jatayu betul-betul khawatir. "Cerita ke Kak Atha, siapa tahu Kak Atha bisa bantu." Jatayu menggunakan tangan kanannya untuk membelai pipiku. "Jangan dipendem sendiri." Ini entah Jatayu yang berbohong atau Pramudya. Aku tidak mau menebak-nebak. Namun aku juga tidak ingin menuduh Jatayu secara membabi buta, karena jika aku kehilangan Jatayu, aku juga yang akan nelangsa.

"Nanti aku cerita, Kak." Jatayu tersenyum sebentar sebelum fokus kembali ke bubur. Sepanjang siang, kami sibuk ber-make up, menyemangati satu sama lain, dan memastikan outfit kami pas dan tidak ada aksesoris yang kurang. Aku dan Jatayu sempat difoto berdua saat sudah mengenakan seragam Tonti kami. Oh, outfit Tonti kami seperti seragam TNI angkatan udara, hanya lebih keren. Kemeja berwarna biru, celana pendek berwarna putih. Benar, celana kami pendek, selutut. Pak Pri bilang, agar pergerakan kami lebih leluasa. Kami juga memakai jas dengan warna biru yang setingkat lebih gelap daripada warna biru kemeja kami. Jas kami penuh dengan tempelan aksesoris. Meliputi badges nama sekolah, name tag, tingkatan kelas. Tidak terlalu rame, namun pas. Seperti kataku, seragam kami keren. Jika kami berada di bandara, kami bisa jadi disangka pramugara. Ha-ha.

Kami tampil jam tiga sore, agak mundur dari waktu yang sebenarnya sudah ditetapkan. Dadaku berdebar keras, gugup setengah mati. Papa, Mama, Pakdhe Danan, Budhe Tinah, dan Eyang ada di tenda tamu kehormatan. Papa mengacungkan jempolnya padaku sementara aku melihat Mama dan Budhe Tinah bertepuk tangan riang, begitu mengetahui posisiku. Aku memfokuskan diri mendengar setiap aba-aba dari Jatayu.

Erlangga di Bawah Kaki Sumbing (TamaT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang