Bagian 31. Banyuwangi

3.8K 418 70
                                    

"Hei Den!" Aku menghampiri Denny Prayoga yang sedang duduk bersama, aku tebak pacar barunya. Abednego, bukan? Terakhir aku dengar update dari Denny, dia sudah putus dari Gani. Denny berdiri menyambut kedatanganku, dia memelukku hangat. "Apa kabar?" tanyaku sambil membalas pelukan Denny.

"Baik," Denny mempersilahkan aku duduk dan menjabat tangan Jatayu. "Lo apa kabar, Sen? Agak keker ya sekarang?" aku tertawa. Tak tahu saja dia latihan tonti sudah macam kententaraan. Kami bertukar kabar dan update cerita satu sama lain. Dari cerita masa SMP, mengingat betapa alaynya kami waktu itu. Hingga Jatayu mencolek pinggangku.

"Aah, lupa gue. Ini Jatayu, Den." Aku memperkenalkan Jatayu. Sementara Jatayu dan Denny saling memperkenalkan diri, aku mencoba mengalihkan pikiranku dari sosok gelap di sisi Abednego. Sosok itu seperti ingin menerkam pacar baru teman lamaku, namun terlindungi oleh aura kuat yang dimiliki Abednego.

"Udah kenal sama Abed, kan? Udah sering gue ceritain!" Giliran aku dan Abednego yang saling berjabat tangan. "Gimana perjalanan Temanggung – Jakarta? Betah lo ya sekarang di kampung." Aku dan Denny kembali terlibat obrolan seru. Bagaimanapun, Denny adalah teman lamaku. Sebelum aku pindah, kami menghabiskan banyak waktu bersama. Ketika aku masih normal. Masih manusia biasa.

"Aku baru tahu kamu bisa ngomong sebanyak itu," celetuk Abednego tiba-tiba. "Selama ini aku kira fungsi lidah dan bibir kamu bukan buat ngobrol tapi buat──"

"Iya. Iya. Iya. Enggak usah dibahas, Sayaaaaang."

Abednego orangnya menyenangkan, walaupun berbeda dengan Gani yang periang. Aku gatal ingin bilang bahwa Abednego sebenarnya memiliki indra keenam, namun urung. Agaknya Abednego sendiri tidak menyadari bakat terpendamnya. Biarlah, hidup akan lebih nikmat kalau tidak berurusan dengan dunia ghaib. Contoh aku. Hidupku jadi tidak karuan sejak mata batinku terbuka kembali. Sayangnya kami tidak bisa mengobrol banyak karena aku harus mengejar jam penerbangan ke Banyuwangi. Namun cukuplah untuk melepas kangen.

Aku memasukkan ranselku ke dalam kabin, tepat di atas tempat dudukku. Kami, ──aku, Eyang, Pakdhe Danan, dan Jatayu── memutuskan untuk menggunakan Garuda menuju Banyuwangi dari Cengkareng. Jadi, dari Yogya, kami ke Jakarta terlebih dahulu.

Jatayu duduk di sebelah kananku sementara Eyang dan Pakdhe Danan berada di depan kami. Eyang mengajak dua abdinya, Pak Cik dan Pak Sasmono juga . Mereka ikut penerbangan ini juga, namun berada di kelas ekonomi. Mereka membantu mengurus bawaan Eyang yang lumayan banyak. Tiga koper! Untuk apa Eyang membawa koper sebanyak itu, padahal kita hanya akan menginap 2 malam 3 hari. Aku saja hanya membawa 1 koper dan 1 ransel. Jatayu malah hanya membawa 1 ransel. Aku tahu keikutsertaan mereka bukan hanya untuk membawa koper kami, namun menjagaku juga. Pak Cik dan Pak Sasmono adalah orang kepercayaan Eyang. Jika mereka berdua ikut, berarti memang ada sesuatu yang genting yang akan terjadi.

Butuh kurang lebih satu jam dari Bandara Banyuwangi ke tempat teman lamanya Eyang. Dari Yogya ke Jakarta sekitar satu jam lebih 15 menit. Dari Cengkareng ke Banyuwangi memakan waktu 2 jam kurang 15 menit. Jadi total perjalanan kurang lebih 5 jam. Kami tiba di dusun Kentangan hampir maghrib. Mobil kami berhenti di depan rumah berwarna hijau, dengan ornamen batu kali sebagai pondasi dasar. Di halaman depan penuh dengan bunga kamboja dan melati yang tengah mekar. Harum semerbak bunganya menyusup ke hidungku dengan kurang ajar.

Aku melihat dua kuntilanak sedang menyusui tuyul di pojok kanan rumah. Daster putihnya seperti baru diambil dari tempat laundry, bau molto soalnya. Di sisi kiri ada genderuwo yang menatap tidak suka ke arahku. Rumah ini dipenuhi setan, penjaga rumah ini. Dan melihatku yang seakan ingin menyerang, mereka langsung waspada. Aku pura-pura tidak menyadari kehadiran mereka. Walaupun sepertinya percuma karena toh mereka sudah bisa mebaca auraku.

Erlangga di Bawah Kaki Sumbing (TamaT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang