15. pain

94.2K 20.1K 2.3K
                                    

Harusnya di rumah aku bisa sedikit bernafas lega, tapi belum.

Pertama, aku harus menutupi luka-luka di tubuhku.
Kedua, aku harus mengarang cerita kenapa sebelah wajahku lebam.

Orang tuaku adalah tipe yang mudah percaya, tapi kalau mereka sedang bad mood lain lagi ceritanya. Aku akan diinterogasi sampai ke akar-akarnya.

Aku menatap pantulan diri di cermin. Celana katun panjang, kaos turtle neck, dan rambut diurai ㅡsetelah keramas, cukup menyamarkan bekas penganiayaan yang kuterima.

Masalah utamanya tinggal wajahku yang jelas sekali seperti orang habis berkelahi.


Sudah jam 8 malam, dan orang tuaku belum pulang.
Aku memasak makan malam lalu memakannya sendiri. Saat itulah Jaemin menghampiriku.

"Hei," sapaku datar. "Dari mana?"

"Ngelamun," jawabnya.
Dia duduk di seberangku, menonton aku mengunyah budae jjigae.

"Ngeliatin orang makan itu nggak sopan, tau," protesku.

Tapi Jaemin malah menatapku lebih intens, dan sekarang mengulurkan sebelah lengannya ke wajahku.
"Pasti sakit, ya?"

Aku menjauhkan wajahku yang ia sentuh, lalu mengunyah lagi.
Pertanyaannya tak butuh jawaban.

Jaemin menghela nafas walaupun tidak ada udara yang terhembus dari hidungnya.
"Maaf," ucapnya pelan.

"Buat apa?" tanyaku sambil tetap makan.

"Semuanya. Ini semua kan gara-gara aku," jawabnya sedih.

"Udah lah, lagian semua udah terjadi."

"Aku nggak tau, kalau misalnya nanti aku bisa hidup lagi, gimana caranya membalas kebaikan kamu."

Aku tertawa.
"Ya ampun, sejak kapan kamu jadi mellow gini? Banyak cara membalasnya, rumah mewah di Gyeonggi misalnya," candaku.

"Maksudnya kamu mau kita tinggal bareng di sana?" tanya Jaemin.

Aku tersedak mendengar pertanyaan itu. Sambil mencari air untuk diminum, aku mengumpat-umpat.
Jaemin menontonku, bingung.

"Bukan lah, bodoh. Apa kata dunia kalau kita... ah, udah lah, nggak perlu dibahas," ucapku setelah menenggak segelas besar air.
"Lagian tadi aku cuma bercanda. Nggak ada yang perlu dibalas, oke?"

"Cih, dasar," Jaemin mencibirku.
"Tapi aku salut, walaupun dalam keadaan gini tapi kamu bisa ngadepin Sarah. Badass."

"Cuma perlu sedikit acting," ucapku tanpa merasa tersanjung. "Aku cuma pura-pura berani, untung dia nggak sadar."

"Berarti... sebenernya kamu takut?" tanya Jaemin, menatapku.

"Hmm..." gumamku bingung. "Ya, lumayan. Maksudnya... aku udah ngebayangin berbagai kemungkinan terburuk."

"Misalnya?"

"Yeah, dibunuh mungkin."

"Bisa ya santai aja ngebayangin dibunuh," Jaemin menggeleng. "Aku nggak nyangka kamu sekuat dan berani itu. Wow."

Aku tertawa pelan.
"Lebih ke nekat daripada disebut kuat atau berani. Eh, tadi katanya mau ngomong. Apa?"

"Oh..." Jaemin menopang dagunya. "Itu, bau karamel di gedung tadi, inget nggak?"

Aku mengangguk.

"Aku cuma samar-samar inget, ada bau karamel di saat-saat terakhir sebelum aku terpisah dari badanku."

Nowhere ; na jaemin ✔ [revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang