23. warning sign

85.6K 18.3K 2.3K
                                    

Di rumahku, di kamarku yang dingin dan sepi, berdua saja dengan Jaemin.


Entah kenapa justru keadaan ini lah yang terasa normal.
Jauh lebih normal daripada saat kami berpisah kemarin.

Orang tuaku belum pulang, baru jam 5 sore.
Sementara Na Jaeyoon sudah kembali ke Incheon ㅡdengan berat hati, karena dia tidak mungkin tinggal di rumahku.
Aku sudah berjanji akan ke Incheon besok untuk menyusun strategi.

Pekerjaanku selanjutnya adalah menjelaskan pada Jaemin semua yang kudengar dari Jeno, Sulli, dan alasan aksi nekatku tadi.

"Nggak masuk akal, tau nggak?" komentar Jaemin saat selesai mendengar ocehanku.

"Ya, aku pikir juga gitu," ucapku sambil menggosok darah yang mengering di telapak dan pergelangan kakiku ㅡlecet karena terlalu hiperaktif.
"Tapi perasaanku nggak enak, dan aku pikir Hansol agak mencurigakan."

"Hm... Entahlah," Jaemin mengehela nafas. "Sialnya aku juga ngerasa ada yang dia tutup-tutupi. Aku nggak selalu sama dia loh, asal tau aja."

"Tuh kan!" tukasku. "Ada yang nggak beres! Walaupun aku nggak yakin Hansol itu jahat."

Jaemin menggeleng mantap.
"Enggak, Hansol hyung bukan orang jahat."

Aku bergumam mengiyakan.

Hansol memang mencurigakan, tapi dia tidak tampak seperti orang yang tega menyakiti temannya sendiri.

"Jadi selanjutnya gimana?" tanyaku, mendesah lega saat air hangat di baskom menyentuh kakiku.
Perih, tapi menenangkan.
 
 

Jaemin berdecak.
"Ya ampun, urus aja diri kamu sendiri dulu," dia menunjuk kakiku yang memprihatinkan.
 
 
 
"Hey," aku menatapnya galak. "Kalo semua itu bener, waktu kamu udah nggak banyak lagi tau!"

Ekspresi Jaemin berubah. Ia tertegun, lalu tersenyum pada diri sendiri.
"Aku udah pasrah kok," ucapnya. "I'm in the middle of nowhere. Nggak hidup, nggak mati juga. Cuma nyusahin orang aja, kan?"

 
 
Aku menatapnya ㅡspeechless.
"Brengsek," umpatku. "Sebanyak itu orang-orang yang mau kamu tetap hidup, dan kamu mau menyerah gitu aja?"

 

Jaemin menatapku nanar, mengatupkan rahang sebelum berbicara.
 
 

"Kamu sadar nggak sih?
Kalo semua teori sinting itu bener, toh aku bakal lupa semua bantuan kalian ㅡapalagi kamu!
Seandainya nanti aku bangun dan lupa semuanya, kita bakal jadi orang asing lagi."

Perkataan Jaemin tadi menusukku.

Menyakitkan, memang.
Tapi itu sama sekali bukan alasan untuk menyerah.

 
  

Aku tertawa sarkastik.
"Aku nggak ngerti jalan pikiran kamu," ucapku. "Emang apa pentingnya sih?
Toh tadinya kita nggak kenal, kalaupun kamu nanti bangun dalam keadaan lupa semuanya ya nggak berefek apa-apa kan sebenernya?"

 
Kami saling menatap dalam diam.
 
 
Demi Tuhan aku benci Jaemin harus membahas semua ini sekarang.

 
  
 
"Kamu yakin nggak apa-apa aku hidup lagi tapi lupa semuanya?" tanya Jaemin perlahan.

Penolakan sudah menggantung di ujung bibirku.
Tapi yang keluar justru isakan parau.

 
  
 
Mulutku bisa lantang berbohong, tapi hatiku tidak.

  
  
 
"Kan," ujar Jaemin lirih. "Yang aku bisa cuma bikin kamu sedih, dari awal selalu gini. Nggak bisa gini terus."

  

Nowhere ; na jaemin ✔ [revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang