Mencintai Orang yang Sama

7.5K 730 16
                                    

Edwin menghela napas dalam, tenggorokkannya sakit seakan ada batu besar yang tertahan. Matanya sudah berlinang, sekali saja ia mengedip, maka kristal-kristal bening akan terjatuh.

Sumpah demi apapun, meskipun Marini tak memberinya surat itu ia berjanji akan menjaga Anna sepenuh jiwa dan raganya. Itu janjinya kepada dirinya sendiri dan juga Tuhan.

"Sebelum Rini menghembuskan napas terakhirnya, dia memberikan surat itu pada saya. Satu untuk Nak Edwin dan satu lagi untuk Anna."

"Meskipun Ibu tidak memberi saya surat ini, saya akan menjaga Anna, yah. Say sudah berjanji pada diri saya sendiri," kata Edwin. Tangannya dengan lincah melipat kembali surat itu.

Arman tersenyum, tidak salah Anna memilih Edwin sebagai suaminya. Ia bisa melihat betapa tulus cinta Edwin pada Anna.

"Iya saya percaya, satu lagi pesan dari saya, tolong jangan pernah kau sakiti Anna. Cuma itu yang saya pinta."

"Iya yah saya janji," ucap Edwin dengan yakin. Ia tahu kalau lelaki sejati adalah yang bisa memegang ucapannya. Ia juga tak ada niat sedikitpun untuk menyakiti Anna, bahkan yang ia inginkan adalah membuat Anna selalu bahagia bersamanya.

"Bang Edwin!" Suara Mai berteriak memanggil nama Edwin. Edwin dan Arman memang sedang duduk di teras rumah bundanya. Edwin sengaja menyuruh Arman ke sini, agar Arman juga bisa bertemu dengan Anna. Kemudian ia segera berlari ke dalam, takut-takut terjadi sesuatu pada Anna.

"Ada apa sih Mai teriak-teriak gitu? Ada masalah sama Anna?" tanya Edwin napasnya tersengal juga wajahnya terlihat sangat panik. Sedangkan Mai malah tersenyum menggoda membuat Edwin kebingungan setengah mati.

"Lihat nih, aku punya sesuatu buat Bang Ed. Udah boleh keluar, kak!"

Tidak lama dari itu Anna keluar bersama dengan bundanya. Ia memakai gamis berwarna merah muda lengkap dengan jilbab panjang yang terulur sampai ke dadanya. Edwin yang melihat itu tertegun, hingga tak sadar kalau mulutnya setengah terbuka.

"Nggak bisa nyantai Bang ngeliatnya?" Mai terkekeh melihat Edwin menjadi pelongo seperti itu.

"Masya Allah... Kamu bawa bidadari dari mana sih Mai."

"Kau bidadari jatuh dari surga di hadapanku, eaaaak," kekeh Mai lagi setelah ia selesai menyanyikan lagu dari salah satu boyband.

Edwin berjalan mendekati Anna, namun gerakannya terhenti saat Anna lebih fokus pada sesuatu. Ia tidak memerhatikan Edwin yang sedang menuju ke arahnya.

"Ayah?" Ayah ada di sini?"

Anna langsung berlari memeluk ayahnya. Edwin hanya bisa menghela napasnya. Sabar Win sabar, masa cemburu sih sama ayah sendiri.

"Masya Allah, putri ayah cantik sekali. Ayah senang melihat kamu seperti ini," ucap Arman pada Anna. Edwin, Mai dan juga Naira mereka fokus pada dua orang yang saling berpelukan itu.

"Aku aneh ya, Yah?" tanya Anna. Ia memerhatikan dirinya sendiri. Baru kali ini ia memakai pakaian yang sangat tertutup.

"Sama sekali enggak, sayang. Kamu sangat cantik, bukan begitu Nak Edwin?"

"Eh.. I.. Iya. Kamu cantik," ucap Edwin dengan gugup. Entah kenapa lidahnya kini kelu.

"Bang Ed aja sampai nggak kedip ngeliat ka Anna tau," celetuk Mai. Kemudian ia meringis saat mendapat cubitan di lengannya. "Apa sih Bang
cubit-cubit? Emang kenyataannya kayak gitu."

"Yaudah Anna, Mai kita berangkat," Naira mengingatkan.

"Mau kemana Bun?" tanya Edwin.

"Mau kajian mingguan, di masjid depan. Kenapa mau ikut?" tanya Naira kemudian terkekeh.

Never Let You GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang