Memulai Hidup Baru

9.4K 801 23
                                    

Mata hitamnya mengamati sekitar. Ia melihat jam dinding yang bergantung masih menunjukkan pukul 09.25 WIB. Tiga puluh lima menit lebih cepat dari waktu yang sudah ditentukan. Ia menunggu dengan tidak sabaran. Entah mengapa jantungnya berdetak lebih cepat. Seakan ia sedang mengunjungi pacarnya saat malam minggu. Ia terkekeh sendiri membayangkan hal itu.

"Cepet amat bang datengnya," Mai datang dari arah tangga kemudian mendekati Edwin.

"Takut telat," jawab Edwin.

Mai terkekeh, "Nggak bakal telat, Bang. Jam 10 itu baru berangkat."

Edwin tertegun mendengarnya, "jadi jam 10 bukan ketemu psikolognya?"

Mai menggeleng, Edwin hanya menyandarkan tubuhnya ke sofa.

"Bang, nikah itu cobaannya berat banget ya?" tanya Mai. Edwin yang sedang menatap langit-langit, pandangannya beralih kepada adiknya itu.

"Kenapa kamu tanya gitu? Udah siap nikah ya?" goda Edwin.

"Mai pingin nikah muda, Bang. Tapi ngeliat rumah tangga Abang, sama rumah tangga orang lain, Mai jadi takut sendiri." jawab Mai dengan jujur.

"Emangnya rumah tangga Abang kenapa?"

"Ehm..." Mai terlihat ragu, namun keluar juga jawaban dari bibirnya. "Cobaannya banyak banget. Kalau Mai jadi Abang atau kak Anna, Mai nggak tahu bisa laluin semua atau nggak."

"Terus yang orang lain, rumah tangga siapa yang kamu lihat?" tanya Edwin lagi.

"Ada lah Bang, selebgram. Baru nikah beberapa bulan udah cerai. Abang kan udah niah nih, menurut Abang gimana?"

"Gimana ya?" Bukannya menjawab Edwin malah bertanya pada dirinya sendiri. Ia kebingungan menjawab pertanyaan dari Mai. Edwin berpikir sejenak, setelah mendapat jawaban yang tepat ia langsung berkata, "sebenarnya sih setiap rumah tangga punya ceritanya masing-masing. Setiap rumah tangga, punya air matanya sendiri. Setiap rumah tangga, punya kadar kebahagiannya sendiri. Kita nggak bisa asal judge rumah tangga orang dari apa yang kita pikir aja. Yang namanya rumah tangga itu dek, harga cabe naik aja udah jadi masalah."

Mai hanya mengangguk-anggukkan kepala. Entah benar mengerti, atau hanya pura-pura mengerti saja.

"Menikah itukan menyatukan dua manusia, dua kepala dalam satu atap. Beda kepala beda juga gagasan. Yang penting harus saling pengertian satu sama lain. Itu baru beda kepala, belum lagi keluarga. Intinya harus saling terbuka dan jujur ajalah. Kalo Abang sih selalu ingat pesan Bunda sebelum Abang nikah dulu."

"Memangnya apa Bang pesan Bunda?"
"Suami itu pakaian buat istri, dan istri pakaian buat suami. Kamu tau nggak fungsi pakaian itu apa?"

"Menutupi aurat, Bang."

"Yaps, adek Abang pintar," ucap Edwin seraya mengacak rambut Mai. "Suami harus menjaga aib istri dan istri harus menjaga aib suami. Sebagaimana fungsi pakaian lah. Kekurangan Anna cuma Abang yang tau, begitu pun kekurangan Abang cuma Anna yang tau."

"Ih iya tuh Bang, yang selebgram itu terlalu mengumbang aib suami di sosmed. Pantas aja kalau di—"

"Ssttt... Sejak kapan kamu gantiin tugas malaikat mencatat amal buruk seseorang?" sela Edwin. "Nggak baik dek ikut campur rumah tangga orang. Lagipula apa yang kita lihat kan belum tentu yang terjadi sebenarnya. Bijaklah dalam penggunaan sosmed. Abang nggak suka kamu komentar-komentar pedas gitu kayak netijen jaman sekarang. Sadar nggak sih, dibalik tulisan itu ada orang loh yang baca, dan orang itu punya hati, dek. Jangan sampai adek Abang yang cantik ini juga ikut-ikutan cyber bullying deh," ucap Edwin seraya mencubit hidung Mai. Mai pun misuh-misuh.

Never Let You GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang