Kepingan yang Lengkap

10.4K 800 34
                                    

"Are you okay?" seseorang menepuk bahu Anna dan merangkulkan tangannya di sana. Anna yang sadar siapa si empunya tangan itu membiarkan, dan menjawab pertanyaan dengan senyum dan juga anggukan kepala.

"Win kita gabung yuk sama yang lain," kata Anna. Orang yang merangkulnya menurut, ia masih meletakkan tangannya di bahu Anna tanpa peduli kalau Anna saat ini sedang risih akibat ulahnya. Masalahnya saat ini mereka sedang berada di pengadilan negeri.Kemudian Anna menurunkan lengan Edwin dan mengganti menggenggam jemarinya dengan lembut.

Anna dan Edwin kali ini bisa tersenyum lega, hakim sudah memutuskan bahwa pelaku percobaan pembunuhan Anna sudah dijatuhi hukuman.

Sebelum sidang tadi pagi Edwin sempat khawatir karena Anna menjadi saksi kunci. Ia takut kalau psikologi Anna kembali terguncang. Anna harus menjawab pertanyaan yang dilontarkan kepadanya, dan itu berarti Anna harus mengingat lagi kejadian pahit itu. Namun Edwin bersyukur, bahwa ketakutannya tidak terjadi sama sekali.

"Win, aku itu sudah biasa ikut sidang. Kamu lupa? Jadi kamu nggak perlu sekhawatir itu sama aku," kata Anna sambil menyunggingkan senyum andalannya.

"Kamu yakin?" Edwin menatap Anna, mencari keyakinan di bola mata Anna dan ia mendapatkan itu. Anna mengangguk, Edwin mencium kening Anna singkat. "Kamu harus ingat Ann, di belakang kamu ada aku. Aku akan selalu ada buat kamu."

"Haduduh pasangan ini bikin jomlo iri aja," Nadia muncul dari arah belakang, Anna yang merasa terkejut melepas genggaman tangannya pada Edwin. Melihat hal itu Nadia tersenyum menggoda. "Udeh nggak usah malu-malu, gue malah seneng kali kalian akur lagi."

Anna memang sudah menceritakan semuanya pada Nadia. Waktu itu setelah Anna dan Edwin pergi ke psikolog, tiba-tiba Nadia datang ke rumah mertua Anna, karena Nadia tak menemui Anna di rumahnya sendiri. Ia masih ingat pembicaraannya pada Nadia saat itu.

"Gue minta cerai ke Edwin. Gue nggak mau karena gue, hidupnya dia menderita. Gue cuma bawa sial di hidupnya dia. Gue ngerasa semua yang terjadi itu seperti kutukan, orang yang gue cintai pasti pergi ninggalin gue. Gue.. Gue... Nggak mau Edwin pergi."

"Anna gue nggak ngerti sama jalan pikiran lo. Nggak ada namanya kutukan di dunia ini, kecuali kalau lo hidup di dunia dongeng, mungkin ada. Tapi please, ini dunia nyata, Ann. Semua yang terjadi sama lo itu ujian dari Allah. Oke gue tau, gue nggak pantes ngomong ini ke lo karena iman gue juga belum bener. Tapi satu hal yang harus lo tahu, Ann. Ujian itu bumbunya kehidupan, kalau hidup lo rata-rata aja, mulus aja kayak kulit lo itu gimana lo bisa tahu kalau lo punya suami yang super duper sayang sama lo. Gimana lo bisa tahu kadar keimanan lo? Waktu kita mau masuk SMP, kita harus diuji dulu di SD. Kita mau masuk SMA diuji dulu di SMP, begitu seterusnya sampai masuk ke perguruan tinggi. Lo tahu apa artinya?"

"Kita harus melewati ujian dulu sebelum menginjak ke tahap yang lebih tinggi."

Nadia menjentikkan jarinya, "that's right. Kalau gue nggak salah sih, gue pernah denger di kajian derajat kita dinaikin kalau berhasil melewati ujian itu."

"Terus gue harus apa?"

"Pertahanin pernikahan lo, Ann. Genggam dia jangan sampai kendor. Laki lo itu potensial banget tahu nggak, sedikit aja lo lepas, gue yakin di luar sana banyak cewek-cewek yang pada ngantri buat minta dinikahin. You deserve happy Ann. Gue ikut happy kalau lo happy."

"Anna! Hello!" Nadia mengibaskan tangannya di depan wajah Anna, Anna langsung tersentak dan semua lamunannya buyar. "Mikirin apa sih lo? Jangan bilang lo mikirin nanti malem mau pake lingerie yang mana ya? Atau gaya apa yang belum dicoba? Nanti malem kan malem jumat."

"Sembarangan!" Anna tak terima. "Semakin mau nikah pikiran lo makin ngeres aja ya, Nad."

Nadia menggaruk tengkuknya, ia menatap sekitar. Untung saja Edwin sudah pergi bergabung dengan teman jaksanya yang lain. "Sebenernya sih itu buat nutupin gerogi gue Ann," aku Nadia.

Never Let You GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang