Surat dari Surga

7.4K 719 19
                                    

Naira membuka pintu dan mendapati Edwin dan Anna. Ia menatap Anna, tatapannya kosong juga rambutnya masih basah. Pandangannya beralih pada Edwin, dari cara pandang Naira Edwin bisa tahu kalau Bundanya sedang bertanya Anna kenapa.

"Nanti Edwin cerita sama Bunda, Edwin pamit dulu ya ke kamar."

Naira mengangguk dan membiarkan Edwin membawa Anna.

Sesampainya di kamar, Edwin menduduki Anna di atas ranjang. Kamar ini adalah kamar miliknya sewaktu Edwin masih tinggal di sini. Kemudian ia mambantu Anna melepas sandalnya dan langsung merebahkan tubuh Anna.

"Udah malam, Ann. Kamu tidur ya," ucap Edwin pada Anna. Ia memerhatikan wajah Anna yang semakin tirus, di bawah matanya tercetak jelas lingkaran hitam. Tanda kalau Anna kurang tidur selama ini. Edwin juga memerhatikan mata Anna yang menerawang ke atas, entah apa yang dilihatnya itu. Satu tangan Edwin terangkat ke arah pipi Anna. Ia mengusap pipi Anna dengan lembut.

Anna yang merasa disentuh pipinya, beralih menatap Edwin. Tangannya menepuk ranjang di sebelahnya tanda kalau laki-laki itu harus ikut berbaring dengannya.

"Jangan tinggalin aku, Win. Aku takut," ucap Anna lirih. Ia sudah kehilangan banyak, ayahnya, ibunya dan ia tidak ingin kalau suaminya meninggalkannya juga.

Edwin beringsut ke arah samping, tempat di mana Anna menepuk-nepukkan tangannya. Kini ia pun sudah berbaring bersama Anna. Satu tangannya menjadi tumpuan kepalanya, agar ia bisa melihat wajah Anna dari posisi yang lebih tinggi. Satu tangannya yang lain mengusap kepala Anna dan turun ke pipinya, kemudian Edwin berkata, "aku di sini Anna. Aku nggak akan meninggalkan kamu. Sekarang kamu tidur ya sayang," sambil mengecup kening Anna. Kepala Anna hanya mengangguk seperti anak kecil yang sedang diberi nasihat oleh ibunya. Lama kelamaan mata Anna terpejam.

=Never Let You Go=

"Anna melakukan self injury?" tanya Naira tak yakin. Edwin sudah menceritakan semuanya pada Bunda.

"Iya Bun, semalam Edwin baru menyadarinya. Apa kita harus bawa Anna ke psikiater, Bun?"

"Ya Allah anak itu. Bunda rasa sih jangan, Win. Dia cuma butuh seseorang yang bisa mengerti perasaannya dan juga support dari orang-orang sekitar kalau sebenarnya dia nggak sendiri."

"Iya Bun, dia selalu bilang ke Edwin kalau Edwin nggak boleh ninggalin dia."

"Nah itu. Gimana kalau kalian pergi berlibur aja. Siapa tahu dengan liburan Anna bisa melupakan kesedihannya, hitung-hitung honeymoon juga kan?" Naira memberi usul, matanya berkedip-kedip menggoda.

"Sekarang ini Edwin sama sekali nggak kepikiran buat honeymoon dulu, Bun. Edwin masih fokus ke Anna supaya Anna nggak down lagi."

"Duh kayaknya kamu cinta banget ya sama Anna?"

"Emang keliatan banget ya, Bun?" tanya Edwin, Naira mengangguk. Dan keduanya sama-sama terkekeh.

"Bunda sama Edwin lagi apa?" tanya Anna yang tiba-tiba muncul. Bunda dan Edwin saling pandang, tidak mungkin kan mereka berkata habis membicarakan Anna.

"Aku lagi bantuin Bunda cuci piring nih, Ann," jawab Edwin. Ia tidak berbohong. Saat ini ia memang sedang berada di dapur dan membantu Bunda mencuci piring, meskipun Edwin hanya membersihkan beberapa saja.

"Sini Anna bantu, Bun," ucap Anna menawarkan diri. Ia sudah berada di samping Edwin.

Naira tersenyum kepada Anna, "nggak usah Anna, ini udah selesai kok."

"Kamu udah mandi?" tanya Edwin untuk mengalihkan pembicaraan. Sebenarnya ia tahu jawabannya, melihat Anna yang sudah berganti pakaian kalau istrinya itu sudah mandi.

Never Let You GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang