Terungkap

7.5K 703 19
                                    

Anna berjalan tertatih menuju dapur untuk mengambil air. Tenggorokkannya begitu kering ketika bangun tidur. Anna memerhatikan sekitar, rumahnya begitu sepi. Tidak terlihat batang hidung Edwin atau Bi Eti sama sekali. Andai ia sudah memiliki anak, pasti ada suara canda, tangis, atau tawa yang menghiasi rumah ini. Pasti tidak akan merasa kesepian. Begitu pikir Anna. Namun pikiran itu langsung cepat-cepat ia tepis.

Ketika sudah mencapai dispenser, Anna mengambil gelas dan mengisi gelas itu penuh kemudian langsung menenggaknya habis. Anna melirik jam dinding, pantas saja rumahnya sudah sepi. Ini sudah pukul 08.00 pagi, pasti Edwin sudah berangkat ke kantor tanpa membangunkannya.

"Loh Bu Anna, kenapa ke dapur sendiri? Bu Anna tinggal panggil bibi saja," kata Bi Eti yang tiba-tiba menuju dapur. Di tangannya terdapat sapu dan juga pengki untuk membersihkan lantai.

"Nggak apa-apa Bi, kalau cuma ngambil air saja saya bisa kok," ucap Anna kemudian duduk di salah satu kursi di meja makan.

"Tapi kata Bapak, Bu Anna belum boleh jalan-jalan begini."

Anna berdecak, "Edwin ini Bi, suka lebay. Padahal saya sudah nggak papa, paling cuma perut saja yang kadang suka kram. Oh iya Bi, tadi Edwin sarapan?"

"Iya Bu, sarapan. Bibi yang masakin nasi goreng."

"Makasih ya Bi," ucap Anna sambil tersenyum.

"Sama-sama Bu, itukan sudah jadi tugas Bibi."

Anna mengangguk, Edwin bilang Bi Eti ini tugasnya dari pagi untuk menyiapkan sarapan sampai jam 16.00 WIB saja. Meskipun Edwin memakai jasa asisten rumah tangga, tapi ia ingin kalau keduanya punya privasi.

"Bi Eti punya anak berapa?" tanya Anna. Melihat Bi Eti yang sangat mempunyai sifat keibuan, ia jadi teringat akan almarhumah ibunya sendiri.

"Bibi nggak punya anak Bu," jawab Bi Eti. Anna jadi tidak enak hati bertanya seperti itu.

"Ma.. Maaf Bi, saya nggak tahu."

"Nggak papa Bu, sudah biasa saya ditanya seperti itu. Dulu sih saya pernah hamil lalu keguguran. Hamil lagi, keguguran lagi. Begitu sampai tiga kali. Ternyata memang ada masalah di rahim saya Bu."

"Masalahnya apa Bi kalau saya boleh tahu?"

"Kata dokter leher rahim saya lemah atau rahim saya yang kecil gitu, Bibi juga kurang mengerti Bu. Bibi nggak kurang-kurangnya ikhtiar Bu padahal, ya tapi mau bagaimana lagi kalau Allah berkehendaknya seperti itu, insya Allah Bibi ikhlas menerima semuanya Bu. Karena hal itu suami bibi jadi meninggalkan bibi dan memilih menikah lagi dengan wanita lain."

Anna tersenyum miris mendengar penuturan dari Bi Eti. Sangat kentara sekali kalau Bi Eti sangat menginginkan hadirnya seorang anak, tapi Allah belum memberinya. Ia jadi teringat akan diri sendiri, dahulu Anna sempat tidak menginginkan seorang anak.

"Terus bagaimana bisa Bibi sekuat itu?"

Bi Eti tersenyum, senyum yang menurut Anna begitu tulus dari dalam hatinya. Mata Bi Eti sampai berbinar-binar dan sedikit berkaca-kaca saat menceritakan semuanya. "Bibi pasrahkan semuanya pada Allah. Allah sebaik-baik pengatur skenario, Bu. Kalau Allah sudah berkehendak Bibi mah bisa apa atuh."
"Ya Allah... Anna sangat salut dengan kesabaran Bibi. Semoga Bibi tetap sehat dan bahagia selalu," ucap Anna dengan tulus. Belum sempat Bi Eti membalas, terdengar suara bel dari luar.

"Biar bibi saja yang buka pintunya, Bu," tahan Bi Eti saat Anna ingin bangkit dari kursinya. Anna mengangguk kemudian kembali duduk.

=Never Let You Go=

"BRENGSEK!" Satu pukulan dilayangkan Edwin pada laki-laki dihadapannya. Satu tangannya memegang kerah baju laki-laki itu dengan kuat dan satu tangannya lagi masih terkepal, siap menambah pukulan.

Never Let You GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang