Lamaran

11.2K 1K 18
                                    

Tuk.. Tuk.. Tuk..

Suara stiletto setinggi 8 cm berwarna hitam beradu lantai marmer. Semua mata tertuju pada seorang gadis memakai kemeja berwarna biru dongker dengan rok span sebatas lutut yang membalut kaki jenjang gadis itu. Rambutnya dibiarkan terurai dengan natural begitu saja. Di bagian ujung rambutnya dibuat curly agar sedikit bervolume.

"Pagi.." Sapa Anna pada setiap orang yang ditemuinya di sekitar lobby kantor. Senyum manis terukir di wajahnya yang nampak cantik dengan make up natural.

"Tumben amat tuh orang nyapa begitu."

"Moodnya lagi bagus kali."

"Udah tobat kali hehe."

Suara-suara dari orang-orang sekitarnya masih terdengar jelas dikedua telinganya, namun hal itu tak dia hiraukan. Anna tetap melangkah menuju tempat di mana dia bekerja dan tempat yang telah membesarkan namanya.

Anna Shopia Lubis, S.H.

Begitu nama yang tertera pada nametag di atas meja kerjanya. Kaki jenjangnya melangkah ke belakang meja. Tangannya terulur untuk meraih kursi, kemudian Anna duduk di kursi kebesarannya. Ia bekerja di kantor advokat milik pengacara kondang di Indonesia. Sebagai pengacara muda, ia tak boleh dianggap sebelah mata. Banyak kasus-kasus besar yang sudah dia tangani. Selain cerdas dan juga cantik, Anna dikenal sebagai pengacara yang mempunyai dedikasi dan berloyalitas tinggi. Tak heran kalau namanya semakin bersinar diantara sederetan nama pengacaa kondang di negeri ini meski diusianya yang masih muda.

"Ann.. Udah sarapan belum?" Seorang wanita yang sebaya dengannya masuk, di tangannya terdapat sekotak Tupperware berwarna biru. Keduanya sama-sama akrab satu sama lain karena mempunyai sifat yang sama dan juga ruang kerja yang berdekatan.

Nadia membuka kotak yang berisi sandwich buatannya sendiri. Nadia memang mempunyai hobi memasak.

Anna mengambil sepotong roti sandwich lalu melahapnya.

"Enak?" Tanya Nadia dan langsung dijawab anggukan kepala dari Anna.

"Boleh Om masuk?" Seorang laki-laki paruh baya berdiri di depan pintu ruangan Anna. Setelah mendapat persetujuan Anna, laki-laki itu mendekati Anna dan juga Nadia.

Ann.. Om ada kerjaan buat kamu." Laki-laki paruh baya itu membuka pembicaraan.

"Apa itu Om?"

"Terdakwa kasus pembunuhan. Om rasa dia difitnah membunuh sahabatnya sendiri. Tapi semua bukti sedang di cari oleh pihak kepolisian. Kamu pelajari saja dahulu berkas-berkasnya."

Anna mengangguk dan menerima pekerjaan itu.

"Kalau begitu Om permisi dulu ya Ann, Nad."

"Iya Om.." Jawab Anna dan Nadia berbarengan.

"Oh iya Ann." Laki-laki itu berhenti sejenak di ujung pintu, "Om turut senang dengan rencana pernikahanmu."

Anna sempat tertegun, "Da..dari mana Om tahu?"

Laki-laki itu tersenyum. "Calon Ayah mertuamu itukan teman baik Om. Jadi mana mungkin Om tidak tahu."

"Doakan semoga semuanya lancar ya, Om." Ujar Anna dan dibalas senyum tulus dari laki-laki itu.

Anna kesulitan menelan salivanya sendiri saat melihat tatapan horor dari Nadia. Nadia menatapnya dengan pandangan seperti singa yang siap menerjang daging segar dihadapannya. Anna menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gagal, kemudian tersenyum kikuk.

"Gue akan jelasin, Nad."

"Harus! Lo utang cerita sama gue. Siapa calon suami lo?" Tanya Nadia dengan suara yang sedikit mengintimidasi.

"Edwin, sahabat gue sendiri."

"APAAAA??!" Anna meringis dan langsung mengusap kedua telinganya akibat suara cempreng Nadia. "EDWIN YANG SI JAKSA GANTENG ITU??!"

"Bisa ngga sih lo ngomong ngga pake toa?"

"Ngga bisa!" Nadia menggelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. "Lo nyolong start Anna. Gue yang udah bertahun-tahun pacaran belum juga dilamar, sedangkan lo yang ngga ketahuan pacaran?? ARRGH!"

"Dia sahabat gue dari kecil." Ujar Anna lirih.

= Never Let You Go =

Dua hari sebelumnya...

Satu persatu keluarga Edwin membawa seserahan yang akan diberikan kepada Anna. Edwin datang bersama dengan keluarga besarnya. Seperti Ayah-bundanya, Saila dan Emir hingga kedua anak mereka, Sarah dan Adli, hingga ke Alya dan juga Fahmi. Mereka adalah sahabat kedua orang tuanya.

Sedangkan dari pihak Anna hanya ibunya saja dan pamannya–adik dari ibunya. Anna memakai kebaya sederhana dengan rambut digelung dan ditambah sentuhan bunga melati. Menambah kesan manis dan juga dewasa pada diri Anna.

Anna memberikan isyarat pada Edwin agar segera keluar. Mereka membiarkan kedua keluarganya membicarakan tentang pernikahan mereka. Yang jelas Anna hanya ingin memastikan saja pada sahabatnya itu.

"Win lo yakin kita sejauh ini?" Tanya Anna sesaat setelah sampai di halaman rumahnya. Anna melirik sekitar, agar tak ada yang mendengar pembicaraan mereka.

Edwin mengangguk mantap. "Dari pada lo nikah sama laki-laki lain?"

"Kalau ditengah jalan gue nyerah gimana?"

"Anggap aja lo lagi belajar." Edwin diam sejenak kemudian melanjutkan, "anggaplah lo lagi belajar dengan pernikahan ini. Seperti perjanjian kita waktu itu kan, ini adalah pernikahan latihan. Jadi lo bisa mulai belajar buat mencintai gue misalnya."

Anna terdiam seribu bahasa. Pikirannya sedang mencerna perkataan Edwin.

"Selama ini kan yang gue tahu, lo ngga pernah jatuh cinta. Nah lo bisa mulai dengan mencintai gue."

"Ta—"

"Mencintai sebagai sahabat lo, Anna." Tangan Edwin terulur menyentuh puncak kepala Anna.

Never Let You GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang