Chapter 9

3.8K 224 15
                                    

Andio menatap nanar kakak satu-satunya yang harus mendekam dirumah pengasingan jauh dari tempat tinggalnya.

Andio beralih pada suster yang biasa menjaga juga merawat kakaknya. "Belum ada perkembangan sus?"

Sustes itupun menggeleng. "Malah semakin parah tuan."

"Ternyata pengaruh orang itu emang besar buat kakak." ucap Andio membuat suster bingung apa maksudnya.

Andio mengusap rambut kakaknya, kakaknya adalah orang pertama yang paling berharga untuk Andio.  Sejak kecil memang kakaknya lah yang menemani Andio,  orang tuanya jarang ada dirumah membuat Andio terbiasa bersama kakaknya. 

Andira. 

Hal itu membuat rasa sayang Andio hanya tertuju pada kakaknya dari pada orang tuanya dan juga adiknya Andina. Andio tersenyum miring,  bahkan orang tuanya lah yang mengirim kakaknya ketempat pengasingan ini.  Dan adiknya selalu berteriak jika ia malu punya seorang kakak yang sakit jiwa. 

Meski Andio hanya memiliki Andira,  Andio masih tetap jadi boneka orang tuanya yang akan patuh jika diperintah apapun.  Hingga harus berakting menjadi seorang abang yang amat sayang pada adiknya diacara Pensi adiknya tempo lalu. 

"Dio harus apa kak? Kaka kapan sembuh? Dio dirumah sendiri kak." Andio masih Setia mengusap rambut panjang kakaknya. 

Sebelum ia sampai Suster sudah menyuntikkan obat tidur pada Andira karena sebelumnya Andira terus meronta dan mengancam ingin mengakhiri hidupnya. 

Andio tak punya pilihan selain mematuhi keinginan papanya untuk mengasingkan kakaknya, dari pada Andira masuk rumah sakit jiwa.  Tidak,  kakaknya masih waras.  Dan Andio ga mau kakaknya dianggap gila oleh semua orang. 

"Dio janji bakal bales semuanya kak,  Dio janji.  Hidup Dio adalah kakak,  Dio rela mati untuk kakak.  Asal akhirnya kakak bahagia." Satu tetes air mata jatuh dipipi Andio.  Oh,  tidak Andio bukan tipe pria yang cengeng  namun jika itu menyangkut kakaknya Andio akan lemah dan kuat dalam waktu bersamaan.  Dan air mata itu adalah bukti Andio sudah berjanji dan janji itu pasti Andio tepati. 

"Dio pulang yah kak, besok Dio pasti kesini lagi.  Besok saat Dio kesini kakak harus bangun terus ngobrol bareng. Dio kangen."

***

Calliesta menatap kesal Nathanael yang sedang berlari mengalungkan sepatu converse miliknya dan membuat dirinya harus bertelanjang kaki saat ini. 

"Ga niat ngambil gitu?  Atau ngejar gue minya balikin? Ini panas lo Cal!" Nathanael mengeluarkan wajah tengil menyebalkannya. 

"Buat lo aja. Cocok buat kalung lo!" Calliesta teramat malas jika harus lari-larian mengejar Nathanael yang pastinya takkan mudah ia jangkau.  Nathanael pelari yang oke,  jadi ya jangan tanya kekuatan larinya gimana. 

Niatnya mau jemput Caramel yang katanya ada tugas kelompok dirumah Hanum dihari Minggu ini.  Dan Caramel meminta jemput pukul 1 siang,  ya kalo kalian lupa jam segitu itu lagi terik banget panasnya bikin Calliesta yang udah bayangin nikmatnya baca komik dikamarnya sambil makan cemilan itu harus kandas.

Dan sekarang dia malah jalan diatas aspal yang sebenarnya panas banget.  Dia juga sempat loncat-loncat karena panasnya. Dan ya itu, dia terlalu malas untuk mengejar Nathanael. 

"Panas lhoo Call, kejar gue kek gitu sekali?" Nathanael menaik turunkan alisnya.

Calliesta memutar bola matanya malas. "Ada ya yang kayak lo? Minta dikejar?  Cowok itu ngejar bukan dikejar!  Ada ceritanya kucing kawin ngejar jantannya?"

Calliesta & Caramel Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang