4. Luka

44K 3.5K 86
                                        


"I am trying to swim, and yet your shadow pull me drown again and again."

Nala hanya menatap pasrah pada Fabian. Laki-laki itu sibuk mengintari ruangan, menilai apa-apa yang ada di dalam apartemen ini.

" Ian, aku tidak ingin bermain sepak bola disini." Kata Nala lelah . " Sudah kubilang yang biasa saja, kan?"

Fabian menoleh. " Ini yang standar, Kana. Aku tidak akan mengizinkanmu tinggal di apartemen dengan fasilitas dan kualitas kurang dari ini. Aku bahkan sudah mensortir daftarnya dengan teliti."

Nala menghembuskan nafas. Ia membanting dirinya di sofa yang sudah ada di sana. Terlalu lelah untuk berdebat dengan Fabian. Fabian yang melihat wajah kakaknya menyambangi Nala dan duduk di sebelahnya.

" Aku juga ikut tinggal disini. Jadi tidak akan terasa sepi."

Kata-kata Fabian membuat Nala membuka mata.

" HAH? Kenapa kamu tinggal disini? Kamu kan tinggal di penthouse?" Seru Nala terkejut. Mana bisa Fabian ikut tinggal dengannya? Itu sama saja!

Fabian menatap Nala, kemudian menghembuskan nafas panjang. Ia melepaskan jasnya dan menyampirkan asal di punggung sofa. Fabian berputar dan merebahkan diri dengan kepala di pangkuan Nala. Sebuah kebiasaan sejak delapan tahun lalu dan tidak pernah berubah sampai sekarang. Bagi Fabian, pangkuan Nala menawarkan kedamaian tersendiri.

" Kamu menolak pengawal, menolak siapapun yang aku pekerjakan untuk menjagamu. Pilihan satu-satunya hanya aku, Kana. Karena aku tidak akan pernah meninggalkanmu tanpa penjagaan." Bisik Fabian menatap tajam paras cantik itu. " Mungkin bagimu mengganggu. Tapi aku tidak pernah main-main soal menjaga mereka yang penting bagiku."

Nala terdiam. Ia membalas sorot mata tajam adiknya. Nala menyusurkan jemari di wajah tampan Fabian, bergesekan dengan jambang halus yang belum dicukur beberapa hari ini.

" Aku tidak pernah menganggapnya menganggu. Aku hanya merasa kamu berlebihan." Kata Nala pelan.

" Hmm..." Fabian menutup mata, menikmati sentuhan Nala yang sarat akan kasih sayang. " Kalau begitu cukup aku saja yang tinggal disini. Satu orang, itu tidak berlebihan, kan?"

Nala memutar bola mata. Satu Fabian sama dengan sepuluh puluh penjaga, itu yang ada di pikirannya.

" Oke. Tapi kamu jangan protes kalau harus bersih-bersih. Itu resiko." Celetuk Nala membuat Fabian tersenyum tanpa membuka mata.

" Aku tidak keberatan." Jawabnya singkat. Nala terkekeh.

Selama beberapa saat, mereka membiarkan keheningan melanda. Saling berterima kasih atas kehadiran satu sama lain.

" Kana, kapan kamu punya waktu? Aku kepingin pergi ke makam Radit dan mama Carissa. Sekalian melihat rumah kalian. Aku ingin sekali." Kata Fabian memecah keheningan. Mendengarnya, Nala yang sedang bersandar di punggung sofa membuka mata.

Bukannya dia melupakan. Bagaimana mungkin dia bisa melupakan. Hanya saja dia belum siap dengan kenangan yang akan menerpanya.

" Aku akan cari waktu." Kata Nala pelan.

" Kana?"

" Ya, Ian?"

" Apa ada sesuatu yang belum kamu ceritakan padaku?" Tanya Fabian kelewat lembut hingga Nala merasa sesak. Namun ia cepat-cepat menggeleng.

"Tidak. Memangnya apa yang bisa aku sembunyikan darimu?" Nala memberikan kode pada Fabian bahwa ia hendak berdiri. " Aku mau belanja dulu."

Fabian yang masih duduk di sofa mengamati kakaknya, " Sepertinya di depan sana ada supermarket lumayan besar. Perlu aku temani?"

ENTWINED [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang