36. Tokoh Antagonis

31.8K 2.6K 57
                                    

" You're still the one I run to,

The one that I belong to,

You're still the one I want for life"

You're Still The One-Lee Dewyze

Jika Nala bisa memutar waktu, dia akan menolak ajakan Dewa untuk berjalan-jalan di taman.

Sekarang saja, Nala harus menunduk guna menghindari tatapan ingin tahu dari siapapun yang berpapasan dengan mereka. Mulai dari pasien, perawat, dokter dan siapapun yang mengenal Dewa, semuanya melongo melihat Dewa dengan santainya mendorong kursi roda Nala menyusuri lorong rumah sakit.

Yang menyebalkan adalah, Dewa menanggapinya dengan sangat tenang seolah seluruh rumah sakit ini adalah rumahnya. Semua yang mengenal Dewa hanya tersenyum menyindir, memainkan alis atau pura-pura terbatuk.

Itu menyebalkan!

Sementara Nala yang duduk di kursi roda masih dengan baju pasien berwarna biru yang kelonggaran dan satu tangan yang digendong merasa sangat malu sekali.

Saat itu, tiba-tiba saja seseorang berdiri di depan Nala dan mencengkram kedua lengan kursi rodanya. Nala mengerjap.

" Dokter Edi?"

Dokter yang sudah berusia empat puluh lima tahun itu tersenyum lebar. Matanya berkilat di balik kacamata tebalnya. Dokter Edi adalah dokter yang bertanggungjawab atas Nala. Jadi tentu saja Nala mengenalnya.

" Sudah sehat?" Tanyanya mengamati Nala dengan jeli. Nala mengangguk.

"Baguslah. Paling tidak setelah ini Dewa tidak merecokiku lagi." Ucapnya mengedik pada Dewa beberapa saat sebelum kembali menatap Nala, " Kalau berat badanku turun, itu karena dia yang tidak pernah membiarkanku makan siang dengan tenang. Padahal jadwal operasiku padat sekali."

Dokter itu terkekeh, kemudian menegakkan diri. " Keputusan yang bagus untuk keluar. Oi Dewa, jangan lupa mengundangku di acara pernikahan kalian!" Ucapnya melewati mereka sembari menepuk pundak Dewa.

Nala mendongak kesal pada Dewa yang melanjutkan perjalanan mereka. Dewa yang menyadarinya mengangkat alis.

" Apa?" Tanyanya seraya menunduk membalas tatapan Nala.

" Kamu tidak pernah benar-benar mendengarkanku yang menyuruhmu pergi, kan?" Dengus Nala.

Dewa menatap manik coklat itu beberapa saat, kemudian tersenyum kecil, " Aku punya mata dan telinga di mana-mana, Nala."

Nala kembali menatap ke depan dan menghembuskan nafas keras.

Ketika mereka sampai di taman rumah sakit, Nala merasa sedikit lega. Paling tidak, di sini mereka tidak terlalu sering bertemu siapapun yang mengenal Dewa. Taman rumah sakit ini lebih banyak dipenuhi oleh pasien dan keluarganya. Beberapa berkursi roda seperti Nala, beberapa memakai tongkat dan beberapa berjalan dengan menyeret tiang infus.

Rumah sakit itu luas dan terlihat asri dengan banyak pepohonan dan jalan setapak yang tersusun rapi. Suasananya nyaman untuk bersantai. Memandangnya saja membuat pikiran Nala agak lega. Dia heran Fabian tidak pernah mengajaknya kemari. Anak itu memaksa Nala istirahat seharian hingga punggungnya terasa panas.

Dewa mendorong Nala menyusuri jalan setapak yang dicat biru.

" Suka?" Tanya Dewa setelah keheningan lama mereka. Nala mengangguk pelan.

" Tamannya bagus." Kata Nala jujur.

" Taman rekreasi. Pasien juga kadang merasa penat kalau di kamar terus menerus." Jelas Dewa yang disetujui Nala.

ENTWINED [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang