37. Truth (I)

33.6K 2.7K 63
                                        

" Adalah pilihanmu untuk tidak percaya, adalah tanggungjawabku untuk membuktikannya."

Nala meremat ujung rok selututnya. Sesekali, gadis itu akan berdecak tidak puas.

" Udah sampai?" Tanya Nala ke seratus kalinya.

" Belum. Sebentar lagi. Dan jangan tanya-tanya lagi! Pusing gue!" Tukas Lila yang duduk di belakang.

" Kita mau kemana sih, La? Pakai ditutup mata segala gini! Gue bisa lapor polisi lho..." Celetuk Nala tenang.

Lila terkekeh. " Fabian aja udah setuju. Mau lapor polisi? Hmph!"

Nala menghembuskan nafas panjang. Kegelapan melandanya sejak Lila memaksa Nala menggunakan penutup mata sejak beberapa waktu lalu ketika mereka berangkat dari rumah sakit. Gadis itu sama sekali tidak mengatakan apapun. Tahu-tahu saja, dia membantu Nala berganti pakaian dengan pakaian yang disediakan Fabian, mengawasi Fabian menggotongnya ke dalam mobil dan mendapat izin Fabian mengantar entah kemanapun itu.

" Sampai!" Seru Lila membuat Nala menghembuskan nafas lega. Nala merasa seseorang menurunkannya dan mendudukkannya di kursi roda. Setelahnya, penutup mata dilepas.

Nala mengerjapkan mata sejenak demi memfokuskan pandangan di depannya. Dan ketika dirinya sadar dimana dia berada, Nala terperangah.

" Kangen?" Tanya Lila nyengir lebar seraya mendorong Nala mendekati gerbang bertuliskan 'SMA ANGKASA'.

Mata Nala tidak henti-hentinya berlari di bangunan bertingkat yang pernah ia tapaki. Dulu, ia merasa bangunan itu sudah sangat elite. Tapi bangunan yang Nala kenal hanya akan menjadi onggokan tak berarti jika dibandingkan yang sekarang.

" Sekarang Angkasa juga ada program pertukaran pelajar." Kata Lila mendengus. " Selalu seperti itu kalau gue tinggal. Selalu ada perubahan. Entah bikin kelas baru lah, bikin lapangan baru lah, bikin bangunan baru lah! Kenapa nggak dari dulu-dulu pas gue masih sekolah di situ coba?"

Sejujurnya, racauan Lila hanya seperti dengung samar di telinga Nala saat ini.

Nala membasahi kerongkongannya yang kering. Bangunan ini adalah salah satu memori paling jelas dalam hidupnya. Ada sesuatu yang membuatnya takut ketika melihatnya. Dia tidak menampik, karena sudah jelas bahwa memori tentang tempat ini bukanlah memori yang menyenangkan.

Lila mendorong kursi roda hingga mereka berdua melewati gerbang. Saat itu, Nala merasa mereka memasuki dimensi yang berbeda, seolah gerbang tadi adalah pintu magis antara masa lalu dan masa sekarang. Udaranya, suasananya, bahkan perpaduan aroma bunga di taman dan cat-cat tembok itu begitu familier. Ada sesuatu yang hanya dipunyai tempat ini, yang membuat Nala tidak mampu menahan memorinya melesat ke masa lalu.

Lila berhenti di tepi lapangan. Lapangan yang sama seperti delapan tahun lalu. Lapangan utama yang menyapa siapapun yang melangkah masuk ke SMA Angkasa.

Lapangan dimana pertama kalinya pula, Nala bertemu Dewa.

Nala menggeleng pelan, mengusir memori yang menari di depan matanya hingga membuat fokusnya terdistorsi.

Bicara tentang Dewa, dimana laki-laki itu? Nala menyangka Dewa sendiri yang akan muncul di rumah sakit. Tapi sampai di sini pun, Dewa tidak ad...

Racauan Nala terhenti kala seseorang muncul tepat di depannya, keluar dari lorong dan berhenti di depan teras sebuah kelas. Tepat seperti delapan tahun lalu.

Lila menepuk kedua bahunya. " Kalau dia masih nyakitin kamu, aku nggak keberatan kamu jadi kriminal. Aku tinggal dulu." Katanya sedikit tidak rela sebelum berbalik keluar gerbang.

ENTWINED [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang