Tok...tok...tok...
" Masuk!"
Pintu terbuka, mengundang Nala untuk mengangkat wajahnya.
" Oh, makasih. Taruh di sini saja." Nala menyisihkan beberapa berkas di mejanya untuk memberi ruang pada berkas baru yang dibawa salah satu pegawainya. Sang pegawai yang bernama Panca itu menurut.
" Silahkan duduk. Kita perlu bicara." Kata Nala singkat, terdengar seperti perintah mengerikan di telinga Panca yang bekerja di bagian arsip.
Panca adalah pegawai berusia dua puluh satu tahun, jangkung, kurus, berkacamata, pendiam dan kikuk. Bertemu pertama kali dengan salah satu anggota Halid saja sudah membuat lututnya gemetar, apalagi kali ini ia diminta duduk berhadapan dengan Kanala Halid yang gaungnya sudah sering terdengar di kalangan pegawai Halid tanpa mereka tahu wajahnya. Panca mengira, Kanala Halid adalah seorang nyonya yang memancarkan aura kekuasaan mengingat bagaimana para pegawai selalu memberikan respon serius jika membahas tentangnya.
Tapi ternyata, Kanala Halid adalah seorang putri.
" ...mengerti?"
Panca mengerjap. " Maaf?"
Anak rambut melingkar di depan telinganya itu sungguh mengalihkan perhatian. Dilihatnya Nala menghirup nafas berat, pertanda gadis itu menyadari bahwa Panca sedari tadi tidak mendengarkan perkataannya. Jantung Panca mulai bertalu. Di hari pertama dia bertemu saja, Panca sudah membuat sang majikan marah. Panca mengalihkan tatapannya ke tepi meja untuk mencegah dirinya semakin berkeringat dingin kala menatap sepasang iris coklat cantik itu.
Tunggu, cantik?
" Aku meminta semua data tentang pontensi kawasan ini. Jumlah dan akses pengunjung selama lima tahun terakhir. Juga kalau bisa, laporan perkembangan selama lima tahun terakhir. Kamu bisa membantuku?" Suara Nala kembali terdengar. Meskipun tanpa penghakiman, namun nyali Panca menciut. Suaranya biasa saja, tidak membentak, tidak juga bernada memerintah. Namun ada sesuatu di suaranya yang membuat Panca tidak bisa menolaknya.
Panca mengangguk canggung. " Saya bisa membantu anda."
Hening. Kemudian, " Oke, kamu boleh kembali. Dan Panca, besok lagi aku tidak mau melihatmu berjalan membungkuk seperti itu. Kenapa? Ada tuyul di pundakmu, iya?"
" Hah?" Kalimat itu tidak sengaja lolos dari mulut Panca. Tanpa sadar ia mengangkat wajah tidak terima pada Nala, namun yang ia dapati hanyalah wajah cantik itu tersenyum geli. Nala mengulurkan selembar kertas padanya.
" Itu. Aku sudah menuliskan beberapa arsip yang aku minta." Katanya ringan.
Panca menerimanya dan segera berdiri. " Besok akan saya bawa kemari, bu." Katanya cepat-cepat tanpa menatapnya.
" Ck! Panca, lihat orang yang sedang bicara denganmu!" Protes Nala bersedekap. "Dan jangan pernah berjalan membungkuk di depanku. Aku bisa mematahkan punggungmu sekalian!"
Panca menelan ludah sembari membenarkan kacamatanya yang sudah sempurna. Kebiasaan dirinya jika canggung.
" Panca?" Tuntut Nala.
Panca mengedipkan mata beberapa kali sebelum akhirnya memberanikan diri menatap nona Halid. Nonanya itu bersedekap dan menatapnya dengan sepasang alis berkerut.
Bukannya apa-apa, tapi mendadak ia merasa resah dengan mereka yang bertemu pandang.
" Saya...permisi dulu." Katanya cepat-cepat.
" Aku bilang jangan membungkukkan badan di depanku." Ucap Nala pelan namun berhasil membuat punggungnya panas. Panca buru-buru menegakkan badannya. Ia membungkuk hormat dan berbalik.
KAMU SEDANG MEMBACA
ENTWINED [COMPLETED]
Romance"Kamu melepaskanku dan aku melupakanmu. Itu wajar." Mana berhak Nala menyebutnya 'mantan'? Kata Jess, bertemu mantan adalah salah satu hal tersulit yang akan ditemui dalam hidup. Oh bukan! Mana berhak Nala menyebutnya mantan? Lebih tepatnya bekas-or...