Part 2

6.1K 569 62
                                    

Lukas keluar dari lift dengan langkah tegap, melirik sekilas kearah meja sekretaris, lalu kembali mengalihkan pandangan saat seseorang yang duduk disana menatapnya dengan mata berbinar.

"Selamat pagi, Tuan." Sapa wanita yang duduk disana. Dia adalah Leticia Brianna, wanita yang menjadi sekretarisnya selama tiga tahun terakhir.

Lukas mengangguk sekilas. Lalu melanjutkan langkah menuju ruangannya. Tanpa menyapa Leticia.

Sejak awal dia memang bersikap seperti itu. Tidak ada keramah-tamahan yang selalu dilakukannya seperti yang dia lakukan kepada orang lain. Dia hanya bersikap profesional saja layaknya atasan dan sekretaris biasa.

Di dalam ruangan, Lukas langsung menghempaskan badan dikursi kebesarannya. Memijit pelipisnya sebentar lalu mengumpat pelan. "Sial ! Kenapa dia harus terlihat semakin cantik !"

Tok tok tok.

Lukas menegakkan duduknya, memperbaiki posisi duduk lalu kembali memasang wajah datar. "Masuk." Ucapnya sedikit berteriak.

Suara pintu yang dibuka, disusul dengan langkah kaki memasuki ruangan, membuat debaran dijantungnya sedikit menggila. Dia sudah tahu siapa yang memasuki ruangannya.

"Ini berkas-berkas untuk bahan rapat hari ini, Tuan. Semua jadwal anda hari ini sudah saya kirimkan ke email anda." Jelas Leticia dengan lugas.

Terlepas dari perasaan wanita itu terhadapnya. Lukas sangat mengagumi cara kerja Leticia. Wanita itu terlihat ahli, semua yang dia kerjakan tertata dengan rapi. Dan dia juga sekretaris yang bisa diandalkan jika Lukas tidak bisa datang ke kantor.

Ngomong-ngomong, Lukas memang sudah tahu bagaimana perasaan wanita itu terhadapnya. Dia bukan pria bodoh yang tidak bisa membaca wanita sepolos Leticia. Bahkan cukup dengan binar di mata wanita itu saja sudah bisa menjelaskan semuanya.

Namun, Lukas tidak bereaksi apa-apa. Semakin dia mengetahui perasaan wanita itu, dia malah bersikap semakin dingin. Seolah menegaskan kepada Leticia untuk membuang semua yang dirasakan wanita itu.

Karena apa ?

Karena dia tidak pernah mempercayai suatu hubungan atas nama cinta. Cih. Dia malas membahas masalah cinta. Semua itu hanya bullshit.

Lukas mengangguk. "Baiklah, aku akan mempelajarinya."

"Saya permisi, Tuan."

Lukas memandangi punggung Leticia yang mulai menjauh. Dia menatapnya tanpa berkedip. Seolah tidak ingin melewatkan sedetikpun untuk tidak melihat wanita itu.

Setelah wanita itu benar-benar menghilang dari pandangannya, dia baru kembali menghempaskan badan dikursi kebesaran seraya menghembuskan napas kasar.

***

Lukas mengetuk pintu di depannya dengan sedikit keras. Dia yakin sang penghuni rumah akan memaki saat melihat wajahnya.

"Sialan kau Lukas !" Umpat Orlando sesaat setelah membuka pintu.

Lihat sendiri kan ?

Sang penghuni rumah yang tidak lain adalah Orlando langsung mengumpat kesal.

"Apa yang kau lakukan dirumahku hah ?" Orlando bertanya dengan nada kesal.

Lukas mengedikkan bahunya. "Hanya mengunjungi keponakanku."

Orlando berdecak. "Vando sudah tidur. Kau pulanglah."

"Uncle Lukaaaaaaaas..." Vando berlari mendekat kearah Lukas. Anak itu langsung menabrakkan tubuhnya. Memeluk pria yang menjadi pamannya tersebut.

Lukas memeluk Vando dengan sayang, lalu mengendong anak yang sekarang sudah berusia lima tahun tersebut. Dia menatap Orlando seraya mencibir. "Kau bilang Vando sudah tidur. Dasar pelit !"

"Aku belum tidur, Uncle." Jawab Vando dengan lucu. "Ayo Uncle, kita main didalam. Aku punya mainan baru. Daddy yang membelikannya." Ucap anak itu antusias.

Vando memang sudah dekat dengan sahabat-sahabat Orlando. Karena dia memang sering bertemu dengan paman-pamannya tersebut. Apalagi dengan Lukas. Pria itu sering sekali mengunjungi dirinya hanya untuk diajak bermain.

"Baiklah Jagoan. Ayo kita bermain." Lukas melangkah masuk sambil menggendong Vando. Mengabaikan decakan kesal orlando. Dia sudah biasa menghadapi kekesalan pria itu.

"Lihat Uncle. Aku sudah bisa menjalankan mobilnya menggunakan remote ini. Daddy bilang akhir pekan nanti kami akan bermain mobil-mobilan di taman." Vando berceloteh sambil menggerak-gerakkan tombol yang ada di remote mobil control yang dimainkannya.

"Waah kau memang pintar. Nanti Uncle belikan pesawat yang bisa dimainkan dengan menggunakan remote juga."

"Benar Uncle ?" Tanya Vando dengan mata berbinar.

"Tentu saja sayang. Tapi ada syaratnya."

"Syarat ? Apa Uncle ?"

"Kau harus rajin kesekolah dan belajar yang benar. Kau mau ?"

Vando mengangguk. "Mau Uncle !"

Lukas mengacak pelan rambut Vando. "Anak pintar. Kau main sendiri dulu ya. Uncle mau mengobrol bersama Daddy." Ucap Lukas yang diangguki oleh Vando. Dia lalu mendekati Orlando yang duduk tidak jauh dari tempat Vando bermain.

"Dimana Valeria ?" Tanya Lukas, saat tidak melihat istri sahabatnya tersebut.

"Dia sedang istrihat dikamar. Seharian dia tidak enak badan." Jawab Orlando lalu menatap Lukas. "Ada masalah dikantor ?" Tanyanya sedikit pelan. Walaupun Lukas terlihat baik-baik saja dari luar, namun Orlando tahu bahwa pria itu memiliki sesuatu yang membuatnya gelisah.

Lukas mengedikkan bahunya. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

Orlando menghela napas. "Kau selalu saja menyimpan semuanya sendiri. Kau tau Luke, kau bisa bercerita apa saja padaku.  Bukankah kita teman ?"

Lukas terkekeh pelan. "Jangan bicara begitu, dude. Aku jadi merasa kau menyukaiku sekarang."

"Sialan ! Kau masih saja tidak waras." Umpat Orlando.

Tawa Lukas makin keras mendengar umpatan Orlando. "Kau tahu, dirumahmu adalah tempat terbaik untuk menghilangkan kegelisahan hatiku." Dia lalu menatap Orlando dengan raut wajah serius. "Terimakasih telah menerimaku disini, bahkan aku adalah tamu yang tidak tahu malu dan datang sesukaku."

"Kau boleh datang kapanpun kau mau. Rumah ini selalu terbuka untukmu Luke."

***

Lukas memasuki apartemennya dengan langkah gontai, menghidupkan sakelar lampu lalu melangkah menuju kamar.

Dia fikir setelah pulang dari rumah Orlando, kegelisahan dihatinya akan berkurang. Namun tidak, setelah keluar dari rumah sahabatnya itu, dia kembali menjadi gelisah.

Leticia Brianna.

Wanita itu yang dia fikirkan.

Selama tiga tahun terakhir dia berhasil untuk bersikap dingin terhadap wanita itu. Namun akhir-akhir ini, semua sikapnya itu semakin membuat dirinya merasa sakit.

Dia tidak yakin bisa melanjutkan semua sandiwara yang diciptakannya. Tapi, dia harus apa ?

Mengatakan kepada wanita itu bahwa dia tertarik padanya ?

Tidak.

Dia tidak akan mengatakannya.

Lagian dia hanya tertarik bukan ?

Lukas mengacak rambutnya lalu berteriak.

"Sialan ! Lama-lama aku bisa gila karena wanita !"

***

Bersambung ~

Halo.
Bantu subscribe dan like channel youtube aku dong.
Makasih 🤗

Lukas & LeticiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang