23🍂Biar Aku Yang Pergi

1.6K 95 0
                                    

Motor Alvaro melaju kencang di jalan raya yang sedang ramai. Tujuannya hanya satu, yaitu cepat sampai di rumah Sakti dan meminta penjelasan tentang voice note yang dikirim. Sesampainya disana, Alvaro langsung masuk kedalam kamar Sakti, karena kedua orang tua Sakti tidak dirumah.

"Anjir Var! Ngagetin aja tau ga!" Ucap Sakti saat Alvaro sudah berada di dalam kamarnya saat ini.

"Maksud voice note yang lo kirim itu apa?" Tanya Alvaro to the point.

Sakti terdiam, padahal di dalam hati ia tersenyum. "Jadi lo udah denger? Gue kira lo engga mempermasalahin apa yang ada di dalamnya, lagian lo kesininya telat sih," ucap Sakti enteng.

"Sak! Gue serius ini nanyanya!"

"Gue rasa lo pasti udah ngerti Var," jawab Sakti.

Alvaro diam. Memandang Sakti dengan tatapan yang tak dapat diartikan. "Kenapa? Muka lo jelek amat," ucap Sakti memecahkan keheningan yang tadi sempat tercipta.

"Trus, gue harus gimana?" Tanya Alvaro, tampaknya berputus asa.

"Sini, lo duduk dulu." Alvaro menurut.

"Dengerin gue baik-baik Var, gue gabakal ulang, lo cinta sama Adiva, tapi Adiva cinta sama Algis. Lo deketin Adiva, tapi nyatanya Adiva risih sama lo. Lo terus-terusan perjuangin Adiva, tapi perasaan Adiva masih belum berubah, right?"

Alvaro mengangguk.

"Kalau nyatanya semua perjuangan lo selama ini sia-sia, kenapa lo masih bertahan sih? Jelas-jelas lo tau itu nggak ada gunanya, jadi ngapain lo harus repot-repot? Lebih baik, lo berhenti ngejar-ngejar Adiva lagi, cewek di dunia ini bukan cuma dia, daripada tenaga lo kebuang sia-sia, dan malah bikin Adiva risih sama lo, lebih baik lo pindah aja kelain hati kan?"

"Tapi Sak, apa yang lo suruh itu susah. Kalau cuma ngomong mau moveon, gue juga bisa, tapi ngelakuinnya yang susah."

"Maka dari itu, hal pertama yang harus lo lakuin itu lupain Adiva. Berhenti mikirin dia, buang jauh-jauh dari ingatan lo, setelah itu lo coba buka hati lo buat cewek lain."

Alvaro lagi-lagi terdiam, mencoba menimang saran yang diberi Sakti, kemudian satu buat chat masuk dari Line.

Adiva : kok lo tinggalin gue sih?

Alvaro baru ingat kalau tadi ia sedang menunggu Adiva tapi dengan seenaknya saja ia pergi. Ia baru akan bangkit, namun dicegah oleh Sakti. Akhirnya Alvaro mengurungkan dirinya untuk pergi, dan hanya membaca pesan yang dikirimkan oleh Adiva.

...

"Nih anak kenapa sih? Main read doang! Dikira gue OA gapenting apa ya?!"

Tadi, setelah Adiva melihat keluar, ia langsung sadar kalau Alvaro meninggalkan dirinya sendiri. Lalu setelah itu Adiva memutuskan masuk dan memesan minuman. Setelah ada disana selama duapuluh menit, Adiva beranjak dan berniat pergi, namun niatnya diurungkan setelah melihat Kikan yang sedang menangis di tempat paling pojok. Padahal sedaritadi Adiva tidak melihat Kikan masuk. Adiva melangkahkan kakinya mendekat kesana, bagaimanapun juga, Kikan masih temannya, Adiva juga tidak suka melihat teman satu-satunya itu menangis.

"Kikan?" Tanya Adiva.

Kikan mengadah dengan wajah kacau. Hidung memerah dan mata yang sembab, menandakan jika dia memang habis menangis.

"Adiva!" Kikan bangkit lalu memeluk Adiva erat. "Maafin gue Div, maaf. Gue udah jahat banget sama lo," ucap Kikan sambil sesegukan.

Sejujurnya, Adiva masih belum bisa menerima kenyataan bahwa Algis dan Kikan berpacaran, namun dia juga tidak bisa menyalahkan Kikan sepenuhnya, karena ini juga salah dirinya. Bukankah perasaan tidak bisa disangkal?

"Ki, lo kenapa nangis?" Tanya Adiva pelan.

Kika menggeleng, lalu mempererat pelukannya pada badan Adiva. "Maafin gue Div," ujarnya lagi.

Adiva yang merasa tidak sanggup langsung melepas pelukan mereka dan menatap Kikan dalam. "Gue udah maafin lo kok, bahkan sebelum lo ngucapin kata 'maaf'," ujar Adiva.

"Beneran Div?" Tanya Kikan tak percaya yang dibalas anggukan oleh Adiva. Saat itu juga Kikan kembali berhambur ke pelukan Adiva. Air matanya tiba-tiba saja kembali mengalir setelah mendengar penuturan Adiva.

"Tapi Ki, lo kenapa nangis? Algis mana?" Tanya Adiva heran.

"Enggak, nggak apa-apa kok Div."

"Lo dibikin nangis sama Algis? Bener-bener yah tuh anak!" Geram Adiva sendiri.

"Eh, eh, buka kok Div. Gue nangis karna gue nyesel udah nyakitin temen gue," ucap Kikan.

"Udah, engga apa-apa. Anggep aja kejadian kemarin gak ada, kita normal-normal aja. Yah, walaupun hati gue masih sakit."

"Div, gue bener-bener minta maaf."

"Iya-iya. Yaudah, kalau gitu kita jalan aja gimana?"

"Yaudah iya."

Mereka berdua keluar dari cafe lalu pergi jalan-jalan dengan menggunakan motor Kikan.
Mereka pergi ke mall dan menghabisi banyak waktu disana. Sekitar empat jam. Adiva senang bisa kembali bersama Kikan, begitupula sebaliknya. Tadi, Kikan berniat mengantar Adiva pulang, namun Adiva menolak. Adiva naik taksi, namun sengaja tidak turun di depan rumah, supaya bisa berjalan.

Kedua telinganya tersumpal earphone, tidak tau kenapa, tapi Adiva hamya iseng membuka radio. Baru saja akan keluar, sebuah lagu menarik perhatiannya. Membuat Adiva tetap stay di salah satu siaran.

Tak kusangka semua seperti ini
semua yang indah berubah jadi sirna
tak habis pikir kau tega seperti ini
meniggalkan aku tanpa suatu kepastian

Ku hanya bisa berharap kau bahagia disana
dengan dia pilihanmu walau dia sahabatku

Biar aku yang pergi
Biar aku yang tersakiti
Biar aku yang berhenti
Berhenti mengharapkanmu

Oh Tuhan kuatkan aku menerima semua ini
Jika dia memang untukku
Ku harap kembalikan dia padaku

Ku hanya bisa berharap kau bahagia disana
dengan dia pilihanmu walau dia sahabatku

Biar aku yang pergi, Biar aku yang tersakiti
Biar aku yang berhenti
Berhenti mengharapkanmu

Oh Tuhan kuatkan aku menerima semua ini
Jika dia memang untukku
Ku harap kembalikan dia padaku

Biar aku yang pergi, Biar aku yang tersakiti
Biar aku yang berhenti
Berhenti mengharapkanmu

Oh Tuhan kuatkan aku...
Jika dia memang untukku
Ku harap kembalikan dia padaku

Aku yang berhenti
Kuatkan aku
Jika dia memang untukku
Ku harap kembalikan dia padaku

Oh Tuhan kembalikan dia padaku

Adiva termenung mendengarkan lagu itu, rasanya tokoh 'aku' dalam lagu itu adalah dirinya.

"Biar aku yang pergi, biar aku yang tersakiti, biar aku yang berhenti, berhenti mengharapkanmu," senandungnya tanpa sadar.

EsperandoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang