21🍂Pagi Hari

1.5K 91 0
                                    

Jam di atas nakas sudah menunjukan pukul tujuh, tapi gadis yang berbaring diatas tempat tidur itu masih memejamkan matanya. Seperti mayat, tidak ada tanda-tanda akan bangun.

Akhirnya, suara timpukan dari arah jendela yang tidak hanya sekali lah yang berhasil membangunkan Adiva. Matanya melirik kearah jam yang menggantung.

"AAAAAA!"

"MATI GUE!"

"KESIANGAN! ANJIR! LEWAT SATU JAM!"

Teriakan Adiva menggelegar setelah menyadari hari sudah semakin siang. Namun mendadak, teriakan Adiva hilang, tergantikan oleh pelototan mata memandang kearah jendela yang saat ini masih mendapat timpukan batu dari bawah.

"Eh, siapa sih iseng," gumamya pelan.

Daripada penasaran, Adiva dengan segera mendekat kearah jendela dengan tatapan penuh kewaspadaan. Pelan-pelan ia menyibakan korden, dan menemukan seseorang dengan topi di kepalanya sedang menoleh ke belakang.

Adiva terkejut. Sudah pasti, cowok itulah yang melempar batu kearah jendelanya, sudah tidak diragukan lagi. Adiva membuka jendelanya.

"Woi, lo yang ada disana! Ngapain?!" Teriaknya.

Orang itu berbalik, membuat mata Adiva membulat sempurna. "Alvaro? Ngapain?"

Dibawah, Alvaro tersenyum memandang Adiva yang kini memandangnya heran. "Adiva! Sini turun!" Teriak Alvaro.

Adiva menggeleng, tidak menyetujui perintah Alvaro. "Ayo sini, lima menit, kalau gak, gue yang masuk!"

Adiva kelimpungan. Dengan segera ia berlari menuju keluar. Sampainya dibawah, dengan napas ngos-ngosan, Adiva memandang Alvaro tajam. "Ngapain sih, ganggu orang banget!"

Alvaro tersenyum. "Ganggu apa ganggu nih," tanya Alvaro.

"Apaansih! Gaje banget! Cepetan, gue tinggal masuk nih?"

"Tingga aja! Tinggal gue susul kok, wle!"

"Ish! Cepetan Varo ngomongnya!" Kesal Adiva.

"Gak sekolah Div?" Tanya Varo yang melihat baju Adiva dan melirik kearah jam tangannya.

"Kesiangan tau ga, yaudah sekalian aja bolos," ucap Adiva.

Alvaro membulatkan matanya kaget. "Jadi lo bolos? Gue kira lo libur, abisnya si Algis juga gak sekolah."

"Heh? Algis gak sekolah? Kenapa?"

"Tau," jawab Alvaro seenaknya.

"Emm, lo bolos kan ya?"

"Iya Varo, gak perlu diperjelas lagi kan?!" Tekan Adiva.

"Hehe, jalan yuk!"

Adiva terdiam. Memandang Alvaro dengan tatapan aneh.

"Kenapa Div? Gitu banget mandangnya."

"Lagian, lo pagi-pagi udah ngajak jalan, waras?"

"Jahat banget Div! Lo ngeraguin kewarasan gue? Sumpah!"

"Lebay banget deh. Udah ah, gue mau masuk, dan lo jangan ganggu!"

Adiva segera melangkahkan kakinya kedalam rumah, meninggalkan Alvaro yang saat ini menampakan wajah kesalnya.

Adiva kembali ke kamarnya, dan menuju kemar mandi. Sekitar dua puluh menit, Adiva keluar dengan baju santainya. Ia turun ke meja makan menghampiri Mama dan Papanya yang baru datang kemarin.

"Diva, tadi kamu kenapa keluar buru-buru gitu?"

Adiva yang sedang mengunyah nasi gorengnya langsung tersedak setelah mendengar pertanyaan dari Mamanya.

"Eh anu Ma, itu-"

Ucapan Adiva terputus karena suara ketukan dari pintu masuk. "Mama buka dulu pintunya."

Mama Adiva berjalan dan membuka pintu, menemukan seorang anak laki-laki disana. "Loh Alvaro?"

"Selamat pagi Tante, Varo kesini niatnya mau ngajak Adiva keluar. Sebenernya tadi Adiva keluar nyamperin saya, tapi nantinya Adiva masuk ninggalin Varo," jelas Alvaro.

"Oh, jadi tadi Adiva keluar nemuin kamu?"

"Iya Tante."

"Kalau gitu ayo kita masuk, kita sarapan di dalam, kebetulan Tante masak lumayan banyak, Papa Adiva juga ada."

Akhirnya Alvaro masuk dan langsung diajak ke meja makan, membuat Adiva lagi-lagi tersedak.

"Loh Varo? Tumben kamu main lagi kesini," sapa Papa Adiva.

"Pagi Om, hehe, Varo niatnya mau ajak Diva keluar."

"Oh, bagus kalau gitu, kasian Adiva diem dirumah, bolos tuh anak," sindir Papa Adiva.

"Iya Om."

Alvaro duduk disamping Adiva, yang langsung dihadiahi sebuah cubitan oleh gadis itu. "Lo ngapain masuk bego!" Desisnya pelan.

"Kan gue udah bilang tadi, wle!" Ejek Adiva.

Lalu mereka semua memulai sarapan.

"Mah jalan jam berapa Var?"

"Uhuk-uhuk." Lagi dan lagi, Adiva tersedak. Membuat mata Papanya memicing.

"Kamu kenapa sih Div? Daritadi keselek mulu."

"Engga, gakpapa kok Pa," elak Adiva. Matanya melirik kearah Varo, ternyata cowok itu sedang berusaha menahan tawanya. Adiva yang kesal langsung menginjak kaki Alvaro.

"Aduh!" Alvaro mengaduh lumayan kencang, membuat Papa dan Mama Adiva menatapnya dengan heran.

"Kenapa Varo?" Tanya Mama Adiva.

"Engga tante, tadi kaki Varo digigit semut. Besar banget," sindir Alvaro. Sedangkan Adiva hanya menampakan senyum mengejeknya.

Setelah selesai makan, Alvaro benar-benar mengajak Adiva pergi. Awalnya, Adiva sudah menolak, tapi Papanya sudah memberi perintah, sudah, tidak bisa dibantah lagi. Lagian katanya kasihan Alvaro yang sudah menunggu lama dari pagi, kata Papanya.

"Mau kemana nih Var?" Tanya Adiva malas.

"Kemana aja," jawab Alvaro cuek.

"Kok kemana aja sih?" Kesal Adiva.

"Yaudah, kemana-mana hati ku senang," sahut Varo.

"Sinting!"

Mobil Alvaro berhenti di sebuah cafe. Adiva langsung saja memandang Alvaro dengan tatapan aneh. "Lo ngapain ngajak gue ke cafe pagi-pagi?"

"Abisma mau ajak kemana lagi coba?"

"Loh? Kalau gitu lo gak usah ribet-ribet ngajak gue pergi!"

"Ish!" Desis Adiva tajam.

"Sorry Div! Keluar aja ayo dulu!"

Akhirnya mereka turun dan masuk kedalam cafe yang sedang sepi pengunjung.

"Noh liat, cuma dua meja yang dipake, satunya termasuk meja kita, tau gini mendingan gue diem dirumah, trus nontonin Manurios deh!"

"Itu aja yang lo tau, belajar yang rajin sana!" Alvaro mengacak rambut Adiva, membuat Adiva langsung memeberengut kesal.

"Bisa gak sih, satu hari aja lo gak buat gue kesel?!"

"Loh, jadi gue buat kesel? Gue kira buat kangen."

"Ew!"

"Eh Var, gue ke toilet dulu ya? Bye!"

Adiva pergi ke toilet. Setelah selesai, karena ia tak melihat-lihat, tak sengaja Adiva menabrak orang yang baru saja masuk.

"Eh, maaf, maaf, saya engga sengaja," ucap Adiva cepat.

"Loh? Kamu yang dulu hampir aku tabrak itu kan?"

Adiva dengan cepat menoleh dan menemukan orang yang dulu hampir di buat terganggu oleh Adiva.

"Dulu kita belum sempat kenalan kan? Kenalin, nama aku Nata," ucapnya sambil mengulurkan tangan.

EsperandoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang