SIX - DUMBFOUNDED

20.4K 1.8K 13
                                    

Nicholaa melirik jam tangannya dan mendapati ia kembali pulang larut malam. Ia terpaksa lembur karena menemani Pieter sekaligus menyelesaikan pengarsipan sampel sweater musim dingin yang diminta bosnya. Lagi-lagi, rumahnya sudah sepi saat ia pulang. Kalau Natasya yang pulang jam segitu, pastilah ia sudah dimarahi habis-habisan, sedangkan jika kasus yang sama terjadi pada dirinya, semua orang tidak peduli.

Anehnya, kenapa harus Nicholaa yang menanggung semua kesalahan Natasya, padahal posisi anak bungsu biasanya yang paling disayang, tetapi ini malah kebalikannya.

Nicholaa berjalan malas ke kamarnya dan terperanjat saat mendapati Natasya tengah duduk di sisi ranjang seolah menunggunya pulang. Nicholaa memutar bola matanya malas dan melempar tasnya ke sofa di sudut ruangan.

"Kamu ngapain ke sini?" tanya Nicholaa dingin. "Sudah berapa kali aku bilang, untuk tidak memasuki kamar orang lain sembarangan."

"Aku minta maaf soal tadi, karena aku, kamu dimarahin sama mama," jawab Natasya sambil memberikan tatapan sedih. Tatapan yang mampu meluluhkan hati semua orang kecuali Nicholaa.

"Hmm..." gumam Nicholaa. "Kamu bisa keluar sekarang? Aku capek."

"Selama ini, kamu ngapain Nic?"

"Bisa nggak jangan kepo soal urusan aku?"

"Kamu ngapain Nic?" tanya Natasya lebih tegas. "Jawab aku!"

"Kuliah. Puas?"

"Kamu di drop out satu tahun yang lalu," jelas Natasya yang membuat Nicholaa terdiam seribu kata. Kata-kata yang diucapkan Natasya jelas seperti tamparan keras yang mengenai hatinya.

Ia memberikan tatapan tajam pada Natasya kemudian tersenyum sinis. "Kamu selalu seperti ini. Kepo berlebihan dan mencampuri urusan orang lain. Kamu juga suka mengganggu area privasi orang tanpa izin."

"Aku kakak kamu, Nic. Jelas, aku harus tahu privasi kamu."

"Privasiku adalah hak aku sendiri. Kamu tidak berhak walaupun kamu kakak aku."

"Kamu belum beritahu papa dan mama soal ini." Kalimat yang dilontarkan Natasya lebih mengarah pada pernyataan.

"Jangan beritahu mereka," sergah Nicholaa cepat. "Anggap saja kamu nggak tahu apa-apa soal drop out ini."

"Tapi, itu tidak baik. Kamu harus beritahu mereka. Aku hanya ingin yang terbaik buat kamu."

"Aku tahu apa yang terbaik untukku," jawab Nicholaa. "Yang terbaik untuk aku adalah bisa pergi dari kalian secepat mungkin."

Natasya hanya terdiam mendengar perkataan Nicholaa. Bagus sekali, ia adalah pemeran antagonis dalam cerita ini.

"Apa pun yang terjadi jangan beritahu mereka. Setidaknya kali ini, jangan menambah kebencianku pada kamu," tambahnya dengan nada dingin. Nicholaa hanya bersikap dingin dan tak tersentuh pada keluarganya sendiri. Percayalah, ia selalu menganggap rumah adalah neraka, di saat orang lain menganggap rumah adalah surga.

***

Nicholaa turun dari tangga dengan langkah yang malas kemudian bergabung bersama keluarganya di meja makan. Ia duduk di depan Natasya tanpa sedikit pun melirik ke arah kakaknya. Nicholaa melakukan aktivitas paginya seperti biasa yaitu mengoleskan selai kacang pada roti tawarnya. Sebelum itu, ia memotong pinggiran roti terlebih dahulu. Nicholaa paling membenci dua makanan di dunia ini, yaitu pinggiran roti dan dan wortel.

"Kenapa kemarin kamu matiin sambungan telepon dari mama secara sepihak?" tanya Lidya, ibunya, dengan nada meninggi.

"Aku nggak matiin, Ma. Ponsel aku kesenggol terus jatuh," jelas Nicholaa. Kemarin, saat ponselnya dibanting, Nicholaa sama sekali tidak merasa marah atau ingin memaki Pieter. Malahan ia senang, karena dengan begitu, ibunya tidak akan meneror lagi.

Kemarin...

Nicholaa menatap ponselnya yang sudah terpecah-pecah dengan pandangan syok kemudian beralih pada Pieter. Sepertinya ponselnya sudah tidak tertolong lagi. Keadaannya benar-benar tragis seperti orang yang baru saja ditabrak truk.

"Yah jatuh..." ucap Nicholaa tanpa ada sedikit pun nada marah atau pun niatan ingin memaki.

Pieter mengernyitkan kening bingung kemudian meneliti lebih dalam ekspresi Nicholaa. Ia tidak menemukan ada ekspresi marah, atau pun kesal yang terlintas di wajah gadis itu. Nicholaa sempat terlihat syok untuk beberapa saat namun tiba-tiba saja gadis itu kembali mengunyah gado-gado-gadonya dengan santai. Entah makhluk langka macam apa yang ia temui kali ini.

"Ponsel kamu rusak." Pieter memungut ponsel Nicholaa yang sudah retak sana-sini.

Nicholaa mengangguk dan kembali memasukkan sendok ke dalam mulutnya dengan lahap. "Terus?"

"Terus?!" Sekarang Pieter yang berbalik syok. Ia tertawa mendengar jawaban yang kelewat santai dari Nicholaa. "Kamu nggak marah?"

Nicholaa mengambil ponsel itu dan mengeluarkan kartu SIM serta memorinya. "Nggak," jawabnya.

"Kalau kamu nggak marah, kenapa kamu jawab pertanyaan saya singkat singkat seperti tadi?"

"Dari dulu saya jawab Bapak seperti ini." Nicholaa tidak mengerti dengan bosnya. "Bapak amnesia atau nggak peka?"

"Saya selalu peka, hanya mungkin hari ini lagi amnesia aja," jawab Pieter dengan nada jenaka. Pria itu memang tidak pernah serius. "Amnesia saya musiman."

"Ngomong-ngomong, matur suwun, Pak," jawab Nicholaa dengan logat jawanya yang kental. Ia pernah tinggal di Surabaya selama 6 tahun untuk menemani neneknya yang kesepian.

"Untuk apa?"

"Bayarin saya makan dan udah mecahin HP saya."

"Kamu nyindir sekarang?" Pieter tersenyum miring menanggapi jawaban Nicholaa.

"Bapak kok selalu negative thinking begitu sih." Nicholaa bersungguh-sungguh saat berterima kasih pada Pieter karena sudah merusak ponselnya. Ia dari dulu memang ingin membanting benda itu. Untung saja ada orang lain yang melakukannya hingga Nicholaa tidak perlu mengotori tangannya dengan membunuh ponselnya sendiri.

"Soalnya kamu itu ababil terus mencurigakan," protes Pieter. Mereka kembali lagi ke kebiasaan buruk saat berdua. Bersikap seperti anak kecil. Tidak ada yang mau mengalah dan sama-sama keras kepala.

"Ya, Bapak sih ngeselin."

"Saya nggak ngeselin tapi ngangenin."

Nicholaa menatap Pieter tidak percaya. "Saya nggak pernah kangen sama Bapak."

"Maybe not this time. But later, you will definetely miss me."

WIN-LOSE SOLUTION ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang