SEVENTEEN - CHAOTIC EVENING

17.3K 1.6K 34
                                    

Hening.

Nicholaa masih menatap Pieter yang berada di seberang mejanya dengan tatapan tajam, tetapi pria itu berpura-pura tidak mempedulikannya dan malah meminum birnya sampai habis. Meja itu diliputi keheningan yang canggung karena kehadiran satu spesies baru yang tidak biasa. Walaupun lagu yang diputar di bar itu memiliki beat yang bersemangat dan menyenangkan, namun tetap saja meja itu tetap hening selayaknya kuburan.

Tidak ada yang bergerak ataupun berbicara. Orang asing yang melihat meja mereka akan berpikir kalau semua manusia di situ depresi sehingga larut dalam pikiran masing-masing. Setelah beberapa menit, penuh dengan keheningan dan konsumsi bir untuk diri mereka sendiri, akhirnya ada yang mengeluarkan suara juga.

"Bapak sering-sering gabung sama kita," ucap seorang pria jakung beralis tebal yang Nicholaa tahu namanya adalah Kevin. Kevin adalah salah satu dari berjuta manusia penjilat lainnya, tetapi ia jauh lebih handal.

Semua orang di meja itu menatap Kevin dengan tatapan protes, kecuali Karina. Karina mengangguk semangat sambil tersenyum lebar pada Pieter yang berada di sebelah kirinya. Pieter membalas senyum Karina dengan senyuman hangatnya. Setelah pembicaraan itu selesai, kemudian muncul pembicaraan lagi, begitu terus hingga suasana di meja menjadi lebih santai karenanya. Meja mereka mulai dipenuhi dengan hingar-bingar tertawa serta bicara yang melantur. Beberapa dari teman Nicholaa sudah mabuk hingga tertawa tidak jelas dan bahkan melantur.

"Main Dare Or Dare yok!" seru Theo dengan kesadarannya yang mulai menipis karena minuman keras.

Semua orang berseru setuju, termasuk Nicholaa yang antusias dengan permainan itu. Pieter mengernyitkan kening bingung ke arah Nicholaa, namun gadis itu bahkan tidak menoleh ke arahnya.

Di saat yang bersamaan Theo sudah memutar botol di tengah mereka untuk menentukan korban pertama Dare or Dare itu. Nicholaa mengalihkan fokusnya ke botol yang berputar itu, sambil berharap ia bukan korban pertama. Nicholaa menghela nafas lega ketika ujung botol itu mengarah pada seorang wanita tinggi yang ceking. Nicholaa lupa namanya, tetapi seingatnya wanita itu adalah tipe wanita pemalu.

Lebih sialnya lagi, Theo memberikan dare gila pada wanita malang itu. Theo memberikan dare agar wanita itu mencium seorang bartender di tempat itu. Tentu saja, hal itu sia-sia dan berujung pada penolakan, sehingga Theo mengganti darenya dengan menjilat sikut sendiri. Air muka Theo langsung berubah masam ketika dare-nya ditolak oleh wanita wallflower itu. Percayalah, setelah ini wanita tersebut tidak akan diundang lagi oleh rekan kantornya.

Theo memutar botol itu lagi dan kali ini ujung botol tersebut berhenti tepat di depan wajah Nicholaaa. Nicholaa menahan nafasnya gugup sambil menatap botol itu kaget. Semua mata di meja itu menatapnya seolah ia adalah hewan yang sudah punah. Pieter juga menatapnya dengan tatapan malas. Kini, yang menatapnya dengan tatapan bersemangat adalah Kevin dan Theo. Sialnya, kedua orang itu satu pemikiran.

"Minum satu botol bir sekali tenggak," tantang Theo yang disambut dengan sorakan riuh dari teman-temannya

Nicholaa melemparkan tatapan protesnya pada Theo. Ia mengalihkan pandangannya pada Pieter, namun mata pria itu seolah mengatakan rasakan-itu. Nicholaa mengambil botol yang disodorkan Theo dengan ragu-ragu, kemudian menegaknya. Tenggorokannya terasa panas, begitu juga maagnya yang memberontak. Ia memaksa agar cairan panas itu tetap diserap oleh tubuhnya hingga habis. Kurang dari 5 menit, Nicholaa berhasil menenggak minuman itu hingga tidak bersisa. Semua orang di situ langsung menyorakinya seolah ia adalah presiden baru. Nicholaa tersenyum bangga, namun perutnya bergejolak.

Dengan segera, Nicholaa langsung menutup mulutnya ketika merasakan makanan di lambungnya naik lagi ke tenggorokan. Ia berlari ke toilet wanita dengan langkah terhuyung sebab bayangannya agak mengabur. Tanpa menutup pintu toilet, Nicholaa langsung memuntahkan semua makanannya di kloset. Ia berpegangan pada sandaran kloset untuk menahan tubuhnya yang terasa lemah.

"Udah nggak tahu nggak bisa minum, masih nekat juga. Bosan hidup ya?" ucap suara familiar itu sambil menepuk punggung Nicholaa lembut.

Nicholaa tidak bisa menjawab pria itu karena ia masih sibuk memuntahkan makanannya. Setelah selesai muntah, Nicholaa terkulai lemas di depan kloset dengan kepala masih menyandar di pinggir kloset. Pieter yang melihat hal itu, langsung menarik kepala Nicholaa dari kloset dan menyandarkannya di dadanya. Pieter mengusap keringat Nicholaa dengan lembut sambil menjumputkan rambut gadis itu di balik telinganya.

"Pinggir kloset itu kotor, Anton," ucap Pieter lembut sambil menunduk dan menatap wajah Nicholaa yang tenang dalam dekapannya.

"Bapak ngapain disini? Ini toilet cewek," jawab Nicholaa lemas karena ia sudah mengerahkan segala tenaganya untuk memuntahkan makanan di perutnya. Untungnya, dengan memuntahkan kembali minuman itu, ia tidak jadi mabuk.

"Saya nggak tahu bagaimana nasib kamu kalau saya nggak ikut tadi," jawab Pieter mengabaikan pertanyaan Nicholaa.

"Saya nggak mengharapkan Bapak di sini," balas Nicholaa kesal namun ia tidak menjauhkan tubuhnya dari dekapan Pieter. Dekapan pria itu sangat nyaman hingga membuatnya mengantuk.

"Ini yang terakhir, Anton. Saya nggak akan izinin kamu pergi setelah ini," pinta Pieter dengan nada yang tidak ingin dibantah.

"Bapak-"

"End of discussion," potong Pieter kemudian menyelipkan tangannya di bawah lutut Nicholaa dan mengangkat wanita itu dengan mudah. Nicholaa menjerit takut dan mengalungkan tangannya di leher Pieter dengan segera.

"Kita pulang sekarang?" ucap Pieter yang terdengar seperti pernyataan daripada pertanyaan.

Nicholaa memberontak sambil memukul pundak Pieter. "Oke, oke, janji ini yang terakhir."

"Bagus," jawab Pieter kemudian berjalan ke arah pintu toilet wanita. Beberapa wanita yang tengah bercermin pun melihat keduanya dengan tatapan aneh. Nicholaa yang merasa malu, semakin menenggelamkan wajahnya dalam dekapan pria itu. Pieter tersenyum tipis mendapati Nicholaa tengah berlindung pada dirinya.

"Sebentar, Pak," tahan Nicholaa. "Karena ini yang terakhir, saya masih mau nongkrong lebih lama lagi."

Pieter mencengkeram pinggang Nicholaa sebagai ancaman kemudian menggeram, "Nicholaa."

Pria itu marah. Jelas sekali. Namanya disebut dengan benar dan tepat.

"Kalau Bapak nggak izinin, saya teriak sekarang," jawab Nicholaa sambil meringis karena pinggangnya dicengkeram erat.

"Kamu mengancam saya? Keberanian dari mana itu?" Pieter menatap Nicholaa dengan tatapan tidak terbaca.

"Bapak pikir saya takut?" tantang Nicholaa balik, yang membuat kesabaran Pieter semakin menipis.

"Teriak aja. Paling orang bilang kamu mabuk," balas Pieter dengan wajah malas.

"Pak, sekali saja," rengek Nicholaa sambil meremas kerah kemeja Pieter, yang dilihat oleh wanita yang tengah bercermin itu dengan tatapan sinis. Bagus sekali, sekarang ia terlihat seperti wanita murahan.

Pieter menatap Nicholaa kesal kemudian menghela nafas panjang. Ia menurunkan Nicholaa dari pelukannya kemudian berkata sekali lagi, "Janji, ini yang terakhir."

Nicholaa mengangguk senang kemudian segera berlari keluar dari toilet wanita dan bergabung dengan teman-temannya.

WIN-LOSE SOLUTION ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang