Enjoy :)
Nicholaa duduk tepat di depan Pieter yang tengah menuangkan wine berwarna semerah darah itu di gelasnya. Keduanya sudah berada di ruang kerja Pieter yang remang remang dan minim pencahayaan. Pencahayaan berasal lampu taman dan lampu kolam yang terpancar menembus jendela besar di belakang meja kerja Pieter. Selain itu, pencahayaan juga ditambah dari tiang lampu yang terletak disebelah rak buku kayu. Ketika Nicholaa ingin menyalakan lampu, Pieter mencegahnya dan mengatakan suasana akan lebih romantis jika lampu yang temaram. Entah mengapa Nicholaa malah merasa jauh lebih was was ketika lampu temaram.
"Pertama, kalau kencan buta, kamu harus tersenyum sama lawan bicara," ucap Pieter santai kemudian meletakkan wine itu di meja sambil tersenyum miring di tempatnya.
Nicholaa memaksakan senyumnya dan berakhir menjadi senyuman canggung. Pieter meringis kecil melihat senyuman sekretarisnya yang terkesan aneh.
"Santai saja," tambah Pieter.
Nicholaa meghela nafas panjang. "Saya nggak bisa kalau senyum sama Bapak."
"Bapak? Bapak?!" Ulang Pieter dengan nada tidak terima. "Pieter, Anton. Pieter."
"Anton? Anton?!" Ulang Nicholaa meniru Pieter. "Nicholaa, Pieter. Nicholaa."
Pieter tidak dapat menahan senyum gelinya dan hal itu menular pada Nicholaa. Wanita itu juga tersenyum geli lalu tertawa hingga mencairkan suasana canggung diantara mereka. Pieter bersorak dalam hatinya karena suasana menjadi lebih baik sekarang. Ia memajukan tubuhnya agar bisa menatap Nicholaa dengan lebih jelas dalam penampilan yang cukup membuat perhatiannya tersita. Namun, yang mengganggu dari tampilan Nicholaa adalah mantel panjang yang dipakai wanita itu. Wanita itu terlihat seperti sedang sakit, sekarang.
"Kenapa pakai mantel? Kamu kedinginan? Perlu saya kecilin AC-nya?" Tawar Pieter hangat.
Nicholaa menunduk dan menatap mantel yang masih melekat pas di tubuhnya. Ia ragu menunjukkan gaun minim yang dipakai didalamnya. Akan sangat canggung jika Pieter yang notabenenya adalah bosnya sendiri melihatnya berpakaian selayaknya stripper. Padahal biasanya pria itu selalu melihat sisi pembantunya yang super dekil. Nicholaa terdiam sambil menatap Pieter cukup lama. Ia berdeham pelan kemudian menggeleng.
"Ini..." jawab Nicholaa ragu ragu sambil menipiskan bibirnya bingung.
Pieter masih setia menunggu jawaban Nicholaa. Kemudian seolah tahu pikiran wanita di hadapannya, Pieter melanjutkan. "Kedua, kamu harus nyaman dengan pakaian yang kamu pakai. Kalau seperti itu, malah kelihatan aneh."
Perkataan Pieter telak mengenai pikirannya yang terdalam. Setelah berkutat sekian lama dengan pikirannya, Nicholaa memutuskan untuk membuka mantelnya dan bersikap lebih percaya diri dengan apa yang ia pakai. Ia menggerakkan tangannya ke arah tali yang melingkar di pinggangnya. Dengan sekali gerakan, Nicholaa melepas tali itu dan membuka mantelnya dari tubuhnya. Pieter mengusap dagunya skeptis sambil menatap penampilan sekretarisnya yang terlihat sangat sangat berbahaya bagi pikiran warasnya. Apalagi yang membuat jantung Pieter berdetak dengan kencang adalah potongan leher gaun Nicholaa yang cukup rendah sehingga memperlihatkan tulang belikat dan leher wanita itu.
Fokus. Fokus. Fokus. Fokus. Ulang Pieter sambil memejamkan matanya sejenak
Nicholaa menarik gaunnya keatas, agar Pieter tidak dapat melihat kulitnya lebih jauh lagi. Suasana menjadi semakin canggung diantara mereka. Inilah yang Nicholaa takutkan. Nicholaa semakin tidak percaya diri dalam balutan gaun tersebut.
Pieter membuka matanya lagi kemudian memasang senyuman polosnya seolah ia tidak menikmati pemandangan kulit sekretarisnya. "Nah, yang ketiga adalah kamu harus memulai percakapan dengan santai."
KAMU SEDANG MEMBACA
WIN-LOSE SOLUTION ✔
RomanceMay contain some mature scenes (Tamat) Hidup Nicholaa Antonetta Djatmika benar benar sudah berada di ujung tanduk. Masa depannya kini suram semenjak ia di drop out dari universitasnya. Ia menutup rapat rapat hal itu, sebab keluarganya tidak akan sen...