FOUR - JUST A KISS

26.1K 1.9K 31
                                    

Pieter diam dengan posisi itu untuk waktu yang sangat lama. Keduanya tetap saling menempelkan bibir tanpa bergerak sedikit pun atau berbicara, sedangkan Nicholaa menatap pria itu tanpa berkedip dengan mulut yang masih dibungkam.

Ini gila!

Sebenarnya, apa tujuan Pieter menciumnya? Demi Tuhan, Nicholaa merasa bibirnya sudah tidak polos lagi. Ia sudah ternodai luar dan dalam. Setelah ini, Nicholaa harus mengaku dosanya pada Tuhan. Apa yang telah ia lakukan bersama Pieter hari ini merupakan dosa besar untuk perempuan polos sepertinya.

Nicholaa dengan cepat langsung menolehkan wajahnya menjauh dari bibir Pieter saat mendengar pintu berderit terbuka. Dari celah lemari, Nicholaa bisa melihat pasangan tadi sudah memasang rapi baju mereka dan keluar dari ruangan itu.

Saat dirasanya sudah aman, Nicholaa langsung meloncat keluar lemari, kemudian mengelap bibirnya dengan panik. Ia menatap tajam pada Pieter yang membalas tatapannya dengan santai.

"Bapak mencium saya," ucap Nicholaa lebih mengarah pada pernyataan daripada pertanyaan. Formalitas di antara keduanya sudah terlupakan oleh ciuman.

"Saya mencium kamu dengan alasan yang benar." Pieter membela dirinya sendiri. "Lagi pula itu bukan ciuman. Sama sekali bukan ciuman."

"Jangan mencari pembelaan diri, Pak," timpal Nicholaa. "Memangnya disebut apa saat bibir Bapak menempel pada bibir orang lain?"

Tiba-tiba saja Pieter tertawa merendahkan. "Anton, Anton, Umur kamu sudah kepala dua puluh tetapi kamu masih juga tidak mengerti apa arti ciuman yang sebenarnya."

"Jangan bilang kamu belum pernah dicium sebelumnya?" tanya Pieter lagi sambil melemparkan tatapan mengejek.

"Saya-" Entah mengapa Nicholaa merasa sindiran Oieter mengenai telak hatinya. Ia merasa seperti jomblo paling mengenaskan seantero dunia. Oh ya, satu lagi keahlian Pieter, yaitu merendahkan orang lain hingga ke dasarnya. Sialnya, sindiran pria itu selalu mengena hatinya yang paling dalam.

"Ciuman yang sebenarnya melibatkan gairah dan emosi, seperti pasangan yang kamu lihat tadi." Pieter mendekati Nicholaa kemudian menatap bibir wanita itu lamat-lamat. "Yang kita lakukan tadi, hanyalah menempelkan bibir. Tidak lebih dari itu."

Nicholaa bergerak tidak nyaman di tempatnya kemudian kembali menjawab Pieter, "Siapa pun, yang melihat kita berdua, pasti mengira kita sedang berciuman, Pak."

"Kenapa kamu membawa hal ini begitu serius, Anton? Jangan bilang kamu memiliki perasaan sama saya?" Pieter kembali menatap lurus ke arah mata Nicholaa hingga membuat wanita itu terdiam seribu bahasa. Bagus sekali. Pieter bisa membuatnya diam tak berkutik seperti sekarang ini.

Hening dan menyesakkan. Nicholaa benci ini.

"Pak, kita hanyalah atasan dan bawahan. Perasaan adalah hal terlarang dalam hubungan kita berdua," jawab Nicholaa setelah menemukan suaranya kembali. "Saya hanya bersikap profesional disini."

"So, am I."

Benar kan? Ia dan Pieter hanyalah atasan dan bawahan. Mereka hanya bersikap profesional untuk tidak terlibat semakin jauh dalam kehidupan pribadi masing-masing selama satu tahun ini. Namun, Nicholaa masih ragu. Bisakah ia tidak terjebak dalam permainan bosnya sendiri?

Entahlah. Semuanya abu abu.

"Apa yang kalian lakukan di dalam?" Suara lembut menginterupsi percakapan keduanya. Nicholaa menoleh dan mendapati Jeanina Natadikusuma menatapnya dan Pieter sambil tersenyum kecil. "Keluarlah, semua orang mencari kalian."

Mungkin yang dicari oleh semua orang bukanlah dirinya, melainkan Pieter. Ia hanya menjadi babu elegan pria itu dan mustahil orang mencarinya. Kemungkinannya hanya 0,001 %. Pieter berniat berjalan mendahului Nicholaa sampai tangan gadis itu menahannya. Pieter berbalik dan memberikan tatapan 'Apa'

"Kita bisa bicarakan 'penempelan bibir' itu nanti," ucap Pieter dengan nada sarkastik. Nicholaa menengok ke belakang Pieter, takut kalau sampai Jeanina mendengar kalimat yang barusan pria itu ucapkan. Untung saja, wanita tua itu sudah lebih dulu meninggalkan mereka.

Nicholaa melepas cengkeramannya pada kemeja biru Pieter, kemudian menggeleng pelan. "Saya ingin pulang dulu, Pak. Tujuan saya mencari Bapak adalah untuk meminta izin untuk pulang."

"Kenapa kamu nggak kirim pesan aja?" tanya Pieter kemudian menggulung lengan kemejanya hingga ke sikut. Tangan pria itu kembali membuat Nicholaa salah fokus. Sepertinya ia perlu ke dokter mata.

"Jangan bilang, kamu mau modusan sama saya?" lanjut Pieter lagi sambil menyipitkan mata curiga.

"Saya hanya bersikap profesional, Pak."

"Lagian, kalau kamu nggak mencari saya dan datang ke ruangan ini, 'penempelan bibir' itu tidak akan terjadi, atau memang kamu suka kalau dekat-dekat sama saya?" goda Pieter sambil tersenyum miring. Sejujurnya telinga Nicholaa gatal mendengar bahasa yang digunakan Pieter untuk mengganti kata ciuman. Terdengar ganjal.

"Salahnya Bapak juga suka teleportasi ke mana-mana," balas Nicholaa tidak mau kalah. Padahal tadi, Nicholaa berpikir Pieter tidak akan meengungkit masalah yang tadi lagi, namun nyatanya ia salah besar.

"Kamu yang salah."

"Bapak."

"Kamu."

"Bapak, jangan childish gitu." Nicholaa merasakan nostalgia saat ia masih di TK kemudian saling menyalahkan satu sama lain karena sikap egois dan keras kepala. Benar-benar tipikal anak ingusan.

"Saya nggak akan childish kalau kamu nggak childish."

"Lagian tadi Bapak bilangnya 'Kita bicarakan penempelan bibir itu nanti'." Nicholaa meniru gaya Pieter saat mengatakan hal tersebut. "Sekarang malah Bapak yang bawa masalah itu ke sini."

"Ya, saya tiba-tiba aja kepengen ungkit yang tadi. Emang salah?"

"Bapak nggak konsisten jadi manusia."

"Emang semua manusia itu nggak ada yang konsisten, Antonku tersayang. Sifat dasar manusia aja dinamis, gimana mau konsisten."

Nicholaa baru tahu tentang fakta itu, ataukah otaknya sudah dicuci oleh bosnya sendiri? Entah mengapa ia tiba-tiba saja merasa bodoh saat berdebat dengan Pieter.

"Kalian ngapain toh? Udah besar masih aja kayak anak kecil." Jeanina yang mendengar perdebatan keduanya tiba-tiba saja merasa gemas sendiri.

"Iya, ini nyusul, Oma," jawab Pieter sopan kemudian menarik sikut Nicholaa mengikutinya.

"Saya mau pulang Pak," ucap Nicholaa lagi karena Pieter terus menarik sikutnya.

"Saya nggak mau kamu pulang."

"Bapak jangan manja gitu dong," gerutu Nicholaa kesal.

"Katanya tadi mau bersikap profesional," sindir Pieter lagi yang telak mengena hati Nicholaa. "Sekretaris yang profesional itu menemani bosnya ke mana pun dan kapan pun ia pergi. Jadi, kamu harus menemani saya sampai acara ini selesai."

Nicholaa baru saja ingin membantah perkataan bosnya, sampai Pieter berbalik kemudian memotongnya lagi.

"Dan satu lagi, saya nggak ingin kamu hilang dari sisi saya."

WIN-LOSE SOLUTION ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang