SIXTEEN - ANOTHER FIGHT IN UNUSUAL PLACE

17.5K 1.6K 38
                                    

Nicholaa mengepak barang-barang yang ada di meja kerjanya dengan rapi kemudian bersiap-siap untuk pulang. Untungnya hari itu, Pieter sedang tidak kerasukan setan hingga menyuruh Nicholaa menemaninya kerja lembur. Dengan perasaan yang berbunga-bunga, Nicholaa melenggang ke arah lift, bersiap untuk menemui kasurnya yang manis. Tiba-tiba saja ia mendengar pintu berderit terbuka. Nicholaa menoleh ke asal suara dan mendapati Pieter keluar dari ruang kerjanya sambil membawa tas kantor dan jas yang sudah ia lepas dan rambut acak-acakan.

Nicholaa segera masuk ke dalam lift dan menekan tombol lantai tujuannya. Ia menekan tombol menutup berkali-kali, sambil memantau pergerakan Pieter.

Tidak, tidak, jangan sama bosnya!

Nicholaa mengerang dalam hati agar ia tidak satu lift dengan pria aneh itu. Pieter yang tahu pintu lift akan segera menutup, langsung memerintah Nicholaa, "Tahan liftnya, Anton!"

Bukannya mengikuti perintah bosnya, Nicholaa menekan tombol menutup berulang kali sambil berdoa dalam hati, bosnya tidak akan kesampaian, namun, doanya tidak terkabul. Pria itu berhasil menahan pintu lift agar tidak menutup, sehingga lift terbuka kembali. Nicholaa memutar bola matanya kesal kemudian menggerutu dalam hatinya. Nicholaa berdiri di sudut lift berusaha menghindari Pieter.

"Nggak, nggak, saya nggak akan palak kamu," gumam Pieter sambil menyandarkan tubuhnya di samping Nicholaa.

"Saya biasa aja," bohong Nicholaa.

"Saya tahu kamu nggak mau se-lift sama saya. Kamu ada masalah apa sih sama saya? Benci banget, rasanya," tanya Pieter berusaha mengerti sekretarisnya yang terus berusaha menghindarinya.

Nicholaa menatap Pieter lamat-lamat berusaha menyampaikan isi pikirannya tentang daftar kesalahan bosnya itu. Pieter menatap balik ke arah Nicholaa sambil menaikkan sebelah alisnya. "Tatapnya biasa aja dong. Saya malu," ucap Pieter berpura-pura bersemu.

Nicholaa menolak keinginan untuk mengatakan satu kata yang berada di ujung mulutnya.

Nggilani.

"Saya biasa aja sama Bapak."

"Yakin?" tanya Pieter sambil menaikturunkan kedua alisnya nakal. Pria itu kini terlihat seperti pedofil.

"Bapak, kayak pedofil kalau alisnya itu," jujur Nicholaa yang mulai takut pada bosnya sendiri.

"Oh ya? Padahal saya pikir, saya tambah ganteng kalau itu," ucap Pieter dengan nada kecewa yang dibuat-buat.

Sebelum Nicholaa sempat menjawab, pintu lift terbuka dan kerumunan pegawai yang ingin memakai lift langsung menatap Pieter dengan tatapan sungkan. Percakapan di antara Pieter dan Nicholaa pun berhenti. Kini, keduanya terpisah karena kerumunan pegawai yang ingin pulang tersebut. Nicholaa semakin terdesak di sudut, begitu juga Pieter yang berada di sudut seberang Nicholaa.

"Malam, Pak," sapa semua pegawai itu secara sopan pada Pieter.

Pieter tersenyum hangat. "Malam," jawabnya ramah.

Nicholaa mengenal beberapa orang dari kerumunan itu. Salah satunya adalah seorang pria banci yang kini tengah menerobos kerumunan itu ke arah Nicholaa. Pria itu berdiri di dekat Nicholaa kemudian berbisik, "Nic, lo nganggur nggak malam ini?"

"Iya, lo mau ngajak gue kemana, Yo?" tanya Nicholaa penasaran.

Nicholaa dekat dengan Theo -pria bencong tadi- karena mereka sering mendapat tugas yang sama dari bosnya. Theo juga berprofesi sebagai sekretaris, tetapi ia bekerja di bawah naungan direktur pemasaran. Karena kesamaan penderitaan itulah, membuat Nicholaa dan Theo menjadi dekat. Dapat disimpulkan, Theo adalah teman terdekat Nicholaa di kantor selain Karina dan Pak Widya.

"Gue sama teman-teman pengen nongkrong di bar. Lo ikut nggak?" tawar Theo sambil berbisik, namun hal itu masih dapat didengar oleh Pieter yang berada di sudut lift.

"Nggak!" seru Pieter yang membuat satu lift syok dan menatap ke arahnya, termasuk Nicholaa.

Seorang wanita muda memberanikan diri untuk bertanya pada Pieter, "Maaf?"

"Oh nggak, saya berbicara sama sekretaris saya," jawab Pieter sambil tersenyum pada wanita itu.

Nicholaa menatap Pieter tidak percaya. Ia menggelengkan kepalanya, menolak untuk tunduk pada pria itu. "Gue ikut!" seru Nicholaa di tengah heningnya lift.

Hal itu membuat suasana lift bertambah canggung. Pieter menatap Nicholaa tajam sambil menyuarakan protesnya lewat bahasa tubuh. Nicholaa memutar bola matanya tidak peduli. Lift berdenting dan pintu terbuka lebar. Semua orang yang ada dalam lift tersebut berbondong-bondong keluar, termasuk Theo yang terlihat gelagapan. Nicholaa mendongak dan mendapati lift bahkan belum sampai ke lobi, tetapi semua orang berlomba-lomba keluar.

Ketika Theo keluar, Nicholaa dengan cepat menahan tangan pria itu agar tetap di lift. Theo menatap protes ke arah Nicholaa, namun ia tidak dapat melakukan apa pun karena pintu lift kembali menutup.

"Maaf ya, malam ini, sekretaris saya akan menemani saya lembur, di rumah," ucap Pieter dengan penuh penekanan, tanpa melepaskan pandangannya dari Nicholaa.

"Bapak nggak bilang ada lembur," protes Nicholaa.

"Saya berubah pikiran. Memangnya nggak boleh?"

"Nggak, saya udah dipesan malam ini," ucap Nicholaa keras kepala.

Pieter menatap tajam ke arah Theo, sehingga pria banci itu gemetaran kemudian berbisik pada Nicholaa, "Mending kamu lembur, deh."

"Ya udah, saya ikut kamu." Keputusan Pieter mengejutkan kedua manusia lain yang berada dengannya dalam lift itu.

"Saya nggak mau!" seru Nicholaa hampir berteriak. Tepat pada saat itu, lift berdenting terbuka dan menampakkan ketiganya dalam keadaan canggung. Lift sudah sampai di lobi, namun tidak ada satu pun yang berani bergerak untuk keluar dari lift itu.

Pieter mengambil keputusan untuk menekan tombol menutup lagi dan melanjutkan perdebatannya dengan sekretarisnya itu. "Memangnya saya peduli?" balas Pieter.

Nicholaa menatap Pieter tidak percaya.

"Saya boleh ikut nggak?" ucap Pieter yang terdengar seperti memerintah daripada memohon pada Theo. Walaupun begitu, nadanya lebih halus daripada ketika ia berbicara dengan Nicholaa. Theo menatap Nicholaa sejenak kemudian menatap Pieter.

Kini, semua keputusan berada di tangan pria banci itu. Ia menghela nafas berat kemudian menunduk dalam dalam, lalu menjawab, "Ya, Pak."

"Shit." umpat Nicholaa pelan.

WIN-LOSE SOLUTION ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang