NINE - SOMETHING ABOUT HIM

19.2K 1.9K 32
                                    

Malam itu, Nicholaa tengah merayakan pesta peresmian rumah baru rekan kantornya bersama Karina. Untuk pertama kalinya, ia bisa lepas dari Pieter dan berbaur bersama rekan kantor yang lain. Itu pun saat meminta izin, Nicholaa sampai harus memohon-mohon seperti anak kecil yang tidak dibelikan mainan. Pieter tidak mengizinkannya sampai Nicholaa memberikan kesepakatan yang merugikannya.

Satu jam sebelumnya...

"Pak, saya pulang duluan ya, ada acara sama rekan kantor."

Nicholaa menatap Pieter lamat-lamat dan mendapati pria itu sama sekali tidak mendengarnya. Ia kembali mengulangnya dengan kesal. "Pak, jangan pura-pura tuli dong."

"Saya dengar," jawab Pieter kemudian beranjak berdiri. Pria itu menggulung lengan kemejanya hingga ke sikut kemudian menatap Nicholaa intens. "Nggak boleh," gumam Pieter menjawab pertanyaan Nicholaa sebelumnya.

"Kenapa nggak boleh? Memangnya Bapak siapa larang saya pergi," protes Nicholaa. Ia tidak bisa menggunakan alasan jam kerja, karena kenyatannya pekerjaannya memang belum selesai. Sial!

"Kamu tadi minta izin ke saya. Terus saya jawab, kamu malah marah." Pieter menyandarkan tubuhnya di depan meja kerja dan menatap Nicholaa santai. "Kamu ngapain minta izin kalau begitu?"

"Berarti saya boleh pergi?" tanya Nicholaa sekali lagi memastikan.

"Nggak."

"Kalau saya membangkang?"

"Gaji," ancam Pieter yang membuat bulu kuduk Nicholaa meremang. Bahu Nicholaa merosot seketika dan ia menghela nafas panjang. Ia berbalik dan berniat meninggalkan ruang kerja Pieter sampai pria itu memanggilnya.

"Ke sana sama siapa? Sendiri?" tanya Pieter tiba-tiba. "Kalau sendiri saya nggak izinin."

Mata Nicholaa seketika itu juga berbinar-binar senang dan tersenyum. "Berarti kalau sama orang, Bapak izinin?"

"Nggak."

Nicholaa merenggut kesal sambil berkata, "Bapak PHP terus."

"Kamu boleh pergi. Kali ini serius." Pieter kembali tersenyum miring dan membuat hati Nicholaa berdebar-debar saking senangnya.

"Matur suwun, Pak."

"Tapi dengan syarat, kamu harus pulang kalau saya suruh dan HP nggak boleh mati." Pieter menegaskan syaratnya sekali lagi seperti seorang ayah pada remaja putrinya.

"Iya, Pak."

Nicholaa baru saja ingin membuka pintu sampai Pieter menghentikannya sekali lagi.

"Saya nggak dapat imbalan begitu?" sindir Pieter kemudian berjalan mendekati Nicholaa.

Nicholaa sampai harus mendongak saat Pieter berada tepat di hadapannya. "Nanti saya traktir deh."

"Kamu nggak mau cium saya? Sebagai ucapan terima kasih."

Pieter sudah menebak, pasti Nicholaa hanya mendengus meremehkan dan keluar dari ruangan itu, namun yang terjadi adalah gadis itu mendekat dan berjinjit agar sejajar dengannya. Lalu, Nicholaa mencium kedua pipi Pieter secara bergantian. Setelah itu, Nicholaa menjauhkan wajahnya dan tersenyum pada Pieter.

"Makasih, Pak."

Pieter hanya bisa tercengang.

***

Istri Pak Widyawan -manajer pemasaran di perusahaan tempat Nicholaa bekerja- menawarkan Nicholaa kue kukus buatannya. Nicholaa mengambil kue itu sambil mengucapkan terima kasih. Semua tamu kini berkumpul di ruang tengah rumah Pak Widyawan. Rumah yang dibeli pria paruh baya itu cukup luas dan memiliki desain interior yang klasik. Tampaknya kedua pasangan itu menyukai hal hal yang berselera tinggi.

"Bapak sibuk sekali?" tanya Pak Widya pada Nicholaa.

Pak Widya dan Nicholaa memiliki hubungan yang cukup dekat. Kadang, ia makan siang bersama pria paruh baya itu di kantin kantor, jika Karina sedang sibuk di bagian surat menyuratnya. Nicholaa merasa nyaman berada di dekat Pak Widya apalagi kartun kesukaan mereka sama yaitu The Amazing World Of Gumball. Kata Pak Widya, ia menyukai kartun itu karena cucunya juga tergila-gila pada Gumball.

"Iya, lumayan, Pak. Bapak lagi sibuk sama peluncuran produk baru, apalagi pembangunan pabrik di Jogja agak terhambat," jelas Nicholaa sambil memakan kue kukusnya.

"Bapak stres?"

Pertanyaan Pak Widya cukup membuat Nicholaa tertawa. "Emang Bapak bisa stres? Pak Pieter baik-baik aja dari kemarin."

Pak Widya tersenyum tipis melihat Nicholaa tertawa. "Sebenarnya, tingkat stres Pak Pieter tinggi. Dia mudah terserang stres."

Nicholaa menatap Pak Widya tidak percaya. "Masa, Pak? Manusia itu senyum terus dari kemarin."

Pak Widya tertawa mendengar tanggapan Nicholaa. "Saya sudah bekerja di perusahaan ini sejak papanya Pak Pieter masih berkuasa. Saya yang membimbingnya, ketika dia pertama kali bekerja di perusahaan sebagai asisten manajer. Saya sudah menganggap Pak Pieter seperti anak sendiri. Saya tahu karakternya seperti apa. Dia orang yang tertutup."

Sebenarnya Nicholaa meragukan banyak hal setelah mendengar pertanyaan Pak Widya. Sangat tidak masuk akal, mengingat sikap pria itu selama ini padanya.

"Kadang saya kasihan sama Pieter. Sebenarnya cita-cita anak itu menjadi pilot, tetapi papanya memaksa dia memasuki dunia bisnis. Pak Pieter tidak membantah hal itu, sebaliknya dia menutupi kekecewaannya dengan mengikuti keinginan ayahnya -bahkan lebih dari itu, dengan meraih gelar Master of International Business Management di usia muda."

Nicholaa merasa bersalah karena sudah memandang bosnya tidak berperasaan, padahal, ada segudang cerita yang belum diketahui Nicholaa selama ini tentang Pieter.

"Masa-masa awal dia bekerja, Pieter sangat stres bahkan depresi. Waktu tugas dinas, dia sampai harus minum pil penenang supaya tidur nyenyak, tetapi, dia tidak memberitahu siapa-siapa soal depresi yang ia alami," jelas Pak Widya sambil menerawang ke teh yang mengepul dalam genggamannya. Keduanya seolah mengheningkan cipta untuk merenungkan nasib Pieter yang mengenaskan.

"Sepertinya dia sudah nyaman sama kamu," ucap Pak Widya tiba-tiba sambil tersenyum hangat. "Kamu sekretaris terlama yang ia punya."

"Baguslah, Pak." Nicholaa tersenyum memaksakan. Seharusnya ia dapat penghargaan dari kantor sebagai sekretaris terlama yang dimiliki oleh pimpinan perusahaan.

"Tenang aja, Non. Bapak orangnya memang susah beradaptasi, tapi kalau sekalinya nyaman dia loyal sekali. Sekalinya nyaman, dia nggak akan melepaskan. Bapak juga orangnya setia." Pak Widya seolah-olah tengah mempromosikan anaknya yang jomblo akut pada Nicholaa.

Nicholaa menatap kue kukusnya yang tinggal setengah sambil berkutat dengan pikirannya sendiri. Mungkin Pieter tidak seburuk dugaannya. Mungkin ada sedikit kebaikan dalam pria itu, hanya saja ditutupi oleh semua aksi buruknya.

Pak Widya yang seolah tahu pikiran Nicholaa langsung berkata. "Kalau Non sering dijahili sama dia, itu artinya Bapak udah nyaman. Nah, berarti, sekalipun Non minta resign, nggak akan diizinin sama Bapak."

Nicholaa memaksakan seulas senyum pada pria paruh baya itu. "Bagus dong, Pak. Saya jadi nggak perlu khawatir dipecat."

Bohong! Padahal ia ingin sekali dipecat oleh pria itu.

WIN-LOSE SOLUTION ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang