The Faith

22.6K 2.4K 142
                                    

"Bagaimana keadaan Amelia?" Declan menyesap kopinya. Di depannya Caleb terlihat juga menyesap kopi pekatnya.

Caleb mendongak. Pandangan mata kedua pria Leandro dengan karakter yang berbeda itu beradu.

"Dia...lebih banyak melamun. Kau pasti sudah tahu dari Rana. Ini bukan teritorial kita. Aku bahkan masih tak percaya tentang...sihir atau apapun itu."

Declan mengusap melingkar pinggiran cangkir kopinya dengan jari telunjuknya. Siapapun yang sekarang melihat dua pria ini pasti rela menghentikan semua kegiatannya. Dua pria ini terlihat mencolok di antara para pengunjung restoran di hotel Leandro itu. Mereka terlampau menawan dan pesona mereka menguar dengan semena - mena. Membuat khilaf beberapa pasang mata wanita yang kebetulan berada satu ruangan dengan mereka.

"Kirana bagaimana?"

"Masih dengan ketakutannya. Dia masih berpikir Mom akan mencincangnya karena dia hamil..." Declan merendahkan suaranya. Gerakan telunjuknya mengelus pinggiran cangkir kopinya masih berlangsung.

Caleb tertawa pelan. Amelia juga seperti itu. Dulu saat tahu dia harus bertemu Mommynya. Walaupun dia tidak hamil. Jadi Caleb sangat maklum kalau perasaan Kirana lebih kalut dari Amelia.

"Tentang Amelia, apakah ada kemungkinan kau membawanya ke New York?"

Caleb menggeleng.

"Aku sudah membicarakannya dengan Kakeknya dan beliau bilang sia-sia saja. Tapi, mereka tetap berusaha. Dan aku masih saja belum bisa menerima semua ini. Keadaan Amelia benar-benar tidak stabil. Dia terlihat baik-baik saja tapi...sesaat kemudian...hal sebaliknya terjadi."

Declan menghela napasnya pelan. Menghembuskannya dan melayangkan pandangannya keluar jendela restoran, menatap lalu lalang manusia yang mulai keluar masuk ke hotel.

"Aku harus kembali. Ada beberapa hal yang harus aku urus dan...jam berapa semua sampai kemari besok?"

"Dad bilang jam 09:00. Aku akan menjemput mereka. Jangan khawatir."

"Aku sudah menyuruh beberapa staf untuk mengurus semua."

Declan mengangguk dan mendongak saat Caleb beranjak.

"Aku pergi dulu."

Sekali lagi Declan mengangguk. Dia kembali menyesap kopinya. Menatap jenuh pada sepiring kue coklat di meja. Rasanya tidak adil harus bahagia sementara Caleb tengah dirundung kebingungan seperti sekarang. Tapi...tidak ada yang bisa diperbuat sekarang. Mereka sangat awam dengan dunia seperti itu. Seperti berada di tempat gelap gulita. Berjalan dengan meraba dan merasai. Sangat sulit dan berakhir dengan ketidaktahuan. Sangat menyesakkan.

Declan beranjak menuju dapur restoran dan meminta beberapa pekerja membantunya membuat makanan untuk Kirana.

-------------------------------------------------

"Sejak kapan sakit kepalanya?." Caleb melangkah panjang menyusuri koridor griya. Seorang pelayan pria yang menggunakan kain khas Bali mengikutinya dengan kepayahan.

"Dari hari masih gelap Tuan."

"Siapa namamu?"

Sejenak pelayan pria yang mencoba mensejajarkan langkahnya dengan Caleb itu melongo.

"Oh saya Made Irawan, Tuan. Panggil saja Made."

Caleb merogoh sakunya dan mengulurkan ponselnya yang diterima dengan gugup oleh pelayan bernama Made itu.

"Tulis nomormu. Kalau ada apa-apa hubungi aku cepat. Bisa?"

Made, pria berusia sebaya dengan Caleb itu mengangguk heran dan mengetikkan nomornya. Lalu dengan tangan gemetar menyerahkan ponsel Caleb kembali.

THE SECRET OF BILLIONAIRE'S GIRLFRIEND (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang