Cerita ke-29

100 6 2
                                    

Hari ini gue udah diizinkan untuk pulang dan harus beristirahat dua sampai tiga hari. Gue juga harus sering-sering check-up untuk memastikan secara berkala apakah sel kanker itu masih ada atau engga. Pola makan gue juga harus teratur, yaitu tiga kali sehari dengan makanan bergizi seimbang untuk membantu peningkatan tenaga dan nutrisi dalam tubuh gue. Tubuh gue masih kurus dan mata gue juga masih cekung. Rambut gue juga belum ada yang numbuh. Maka dari itu, daritadi gue make beanie.

Rasanya seneng banget ketika gue sampe di kamar gue tercinta ini. Ternyata dalemnya di ubah total sama Papa. Yaa sama sekali bukan masalah buat gue, yang penting poster-poster yang gue beli engga di copot karena Papa adalah tipikal orang yang engga suka kalo di dinding kamar ada poster-poster kek gini. Makanya gue sangat bersyukur banget. Gue membuka tirai jendela kamar gue dan pemandangan yang pertama kali gue liat adalah Dicky sama Shella lagi beradu bacot di depan rumah Shella.

Terus, engga lama Dicky pergi begitu aja ninggalin Shella yang nangis di depan rumahnya. Pengen gue lempar gitar si Dicky tadi, cuman gue urungin niat gue karena gue sadar kalo kehadiran gue akan memperkeruh suasana. Engga lama, Mama dateng nyamperin Shella dan meluk perempuan itu. Mereka bercerita banyak hal sampe gue males dengerinnya lagi dan malah sibuk beberes barang-barang gue. Ahh entah kenapa gue kangen banget sama kondisi kamar gue.

Daripada gabut sendirian di kamar dan gatau apa yang mesti gue lakuin, akhirnya gue buat sketsa di hvs yang emang gue beli buat jaga-jaga kalo ada tugas ngeprint atau apa. Sketsa pertama yang gue bikin adalah sebuah daratan yang dipenuhi sama hutan-hutan dan bunga-bunga. Persis seperti mimpi gue waktu itu. Sketsa kedua yang gue bikin adalah sebuah pintu yang berdiri tegak dan agak terbuka sedikit. Di sekeliling pintu itu gue buat banyak tumbuhan dan di dalem pintu itu cuma ada kegelapan yang gue arsir sampe bener-bener hitam. Sketsa ketiga gue adalah seorang perempuan dengan senyuman pahitnya yang mengembang menatap gue dengan kilauan mata yang penuh dengan harapan. Ya, dia Shella.

Pintu kamar gue terketuk dan gue cukup berkata 'masuk'. Tapi pintu itu terus-terussan terketuk sampe akhirnya kesabaran gue abis dan gue pun beranjak dari sana. Tangan gue membuka pintu dan sebuah pelukan keras menabrak tubuh gur disertai dengan isak tangis. Tubuh gue terdorong ke dalam kamar sampai akhirnya perempuan itu juga masuk ke dalam kamar gue. Dia nangis sejadi-jadinya dan airmatanya berhasil menembus kaos yang lagi gue pake. Tadinya gue enggan buat meluk balik, tapi hati gue mendominasi tubuh gue. Gue meluk Shella yang engga kalah eratnya, menumpahkan semua rasa rindu yang selama ini terbendung.

"Gue kangen lo, Dev. Gue gamau kehilangan lo lagi. Plis... jangan ngejauhin gue karena gue gabisa jauh dari lo. Gue sayang lo, Dev. Gue tulus sayang sama lo," kata Shella di sela-sela tangisnya.

Airmata gue juga ikut menetes pas denger kata-kata ajaib itu keluar dari mulut Shella. Gue gabisa berkata apapun dan cuman manggut-manggut. Hampir sepuluh menit kita berpelukan dan akhirnya pelukan itu harus terlepas karena kita sama-sama butuh oksigen. Setelah itu, gue menghapus airmata gue dan menghapus airmata Shella juga. Kita berdua tertawa karena menyadari kalo kita ingin bersama tapi dengam egois yang besar gue ngejauhin dia. Tapi, ada keharuan yang lebih memuncak tatkala kita berdua baru tau kalo kita punya perasaan yang sama.

Gue mengecup bibir manis Shella lumayan lama, menyalurkan rasa rindu yang kayaknya engga cukup lewat pelukan. Ciuman itu terlepas ketika gue merasa kalo ini kebodohan yang terlalu bodoh. Seusai nyium dia, gue malah minta maaf. Sontak Shella tertawa kenceng dan memeluk diri gue lagi. Dia berkata lagi, 'Jangan tinggalin gue lagi, gue mohon sama lo'. Dan sekali lagi gue cuman mengangguk ngedenger omongan itu. Setelah itu, Shella mengelilingi kamar gue sambil nyentuh lembaran-lembaran foto dan sketsa yang gue tempel di sepanjang dinding nake tali putih.

"Banyak juga ya foto sama sketsa gue disini," kata dia.

Gue tersenyum. "Sebagai pengobat rindu kalo gue kangen sama lo."

Shella ikut tersenyum. "Jadi, kapan mau di resmiin?"

"Nanti aja lah gila! Sekolah belom lulus udah mau nikah aja!"

PLAK!

Heran, ternyata gamparan itu masih berlaku setelah dia bilang dia sayang sama gue. Emang rada-rada ya ini cewek. Tapi gapapa deh, gue sayang sama dia.

"Maksud gue resmi jadi pac--"

"Hei! Ayok makan malem dulu," kata Mama yang tiba-tiba muncul di balik pintu. Kita berdua tersenyum dan berjalan mengekor di belakang Mama menuju ruang makan. Ternyata di meja makan udah ada Papa, Kak Oliv sama pacarnya yang bahkan sampe sekarang gue gatau namanya siapa. Makan malam juga udah terhidang dengan asap yang masih mengepul. Uhh rasanya pengen gue santap semuanya.

Acara makan malam pun berlangsung dengan tenang, diiringi sama obrolan-obrolan kecil. Ternyata nama cowoknya Kak Oliv itu adalah Adrian. Ahh akhirnya gue tau namanya karena selama ini cuma manggil 'Bang' doang. Maapkan calon adik iparmu ini bang Adrian. Laki-laki itu sekarang lagi kuliah Teknik Industri di salah satu PTN di Jakarta yang cukup terkenal karena eksistensinya. Sementara Kak Oliv kuliah di jurusan Ekonomi Islam di PTN yang sama dengan cowoknya itu.

Terus, keusilan gue muncul ketika gue ngeliat Shella.

"Mah! Pah!"

Sontak semua mata langsung menatap lurus ke arah gue. Termasuk Shella. Gue pengen ngakak rasanya ketika pengen ngeluarin kata-kata ini dari mulut gue. Tapi gue tahan ketawa gue karena ini sifatnya adalah serius. Jadi gue menghela nafas supaya diri gue tenang.

"Deva sama Shella resmi pacaran sekarang."

Mata Shella sontak terbuka lebar pas perkataan gue keluar gitu aja. Kak Oliv teriak histeris karena kesenengan. Mama sama Papa cuman senyum.

"Benar itu, Shella?"

Perempuan itu membisu seribu bahasa dengan muka semerah tomat. Dia cuma senyum salah tingkah karena gatau harus berbuat seperti apa. Pengen ngegampar gue pun rasanya dia sungkan karena ada Mama sama Papa gue disini. Jadi dia cuman bisa ngangguk aja. Darisitu baru gue ketawa sengakak-ngakaknya.

"Semoga tahan ya sama kekanakannya Deva," kata Kak Oliv.

Malam itu rasanya hangat sekali. Semuanya berjalan dengan dipenuhi keceriaan dan kebahagiaan. Gue pengen terus ngerasain kayak gini. Tapi entah kenapa, dibalik keceriaan dan kebahagiaan ini gue ngerasa ada titik kesedihan di dalamnya. Hati gue ngerasa nyesek. Padahal udah ada Shella disini. Padahal keluarga gue udah kumpul semua. Suasana udah anget dan engga sedingin dulu. Tapi kenapa ya? Kenapa ada titik kesedihan yang gue rasain disini. Ahh bodoamat deh, gue pengen nikmatin keceriaan dan kebahagiaan ini dulu.

Ternyata, kebahagiaan Shella adalah si masa lalu yang ternyata menjadi masa depan, yaitu gue.

Tentang ShellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang