Bab 13 - Bersamamu

456 34 5
                                    

Setelah mereka selesai makan malam, Atta memecahkan keheningan terlebih dahulu.

"Besok jam 10 pagi, kakak ada janji ketemu sama Pak Handoko, owner dari proyek yang sedang kakak awasi. Jadi, kita berangkat dari villa jam 9 ya, supaya ga telat."

Mereka mengangguk setuju.

"Kami boleh ikut kesana kan, kak?" Tanya Anna sembari mengumpulkan piring-piring kotor mereka.

"Kalo ga boleh, gak mungkin kita diajak kak Atta kesini, Na." Stella menyanggah.

Atta mengangguk.

"Iya boleh kok, kalian bisa sekalian lihat proses pengerjaan di sana selagi kakak bertemu dengan Pak Handoko. Tanya-tanyain aja pekerja di sana, mereka ramah-ramah kok, apalagi kalo sama cewe cantik."

"Ihh, kak atta bisa banget mujinya." Stella menjawab dengan malu-malu.

Sedangkan Anna yang sedang mengelap meja membeku seketika. Wajahnya memerah karena malu, Ia langsung menunduk dan menutupinya dengan sebagian rambut.

"Kak, aku izin ke belakang dulu untuk nyuci piring ya." Anna mengangkat piring-piring tersebut dengan buru-buru karena Ia yakin pipinya masih merah sampai saat ini.

"Gausah, kalian ke atas aja. Kalian pasti capek banget karena perjalanan tadi."

"Gapapa kok kak, aku ga capek. Sepanjang perjalanan kan aku tidur terus."

"Iya kak, Anna udah biasa kok nyuci piring. Maklumlah anak kos." Ujar Stella sambil tertawa.

Atta melirik sekilas ke arah Anna.

"Yaudah, kakak istirahat aja. Aku juga udah ngantuk, aku ke kamar duluan ya."

Stella menutup mulutnya yang menguap, kemudian bangkit dari kursi dan berjalan ke atas. Sedangkan Anna memutar arah menuju dapur.

Tersisa Atta yang masih duduk diam di meja makan.

Gue ke dapur... atau engga ya.

Aargghh! Sadar, Ta. Anna milik sahabat lo.

Atta membuang napas kasar kemudian mengacak-acak rambutnya. Tanpa pikir panjang, Ia memutuskan untuk duduk di teras depan.

***

Setelah selesai mencuci piring, Anna berjalan menuju kamarnya yang berada di lantai 2 melewati meja makan. Ia sama sekali tidak menemukan Atta.

"Kak Atta udah tidur ya? Padahal..." Anna menghela napas kemudian berjalan menaiki satu demi satu anak tangga dengan harapan yang pupus.

Anna membuka pintu kamar.

"si Stella beneran udah molor, tukang tidur banget sih tuh anak." Anna menggelengkan kepala.

"Gue ngapain ya? Gue belum ngantuk, astaga."

Dengan wajah bersungut-sungut, Anna berjalan menuju balkon.

Padahal dalam hati Anna berharap Atta akan menemaninya mencuci piring, kemudian mengajaknya berbincang. Ia benar-benar merindukan momen kala hujan itu.

Anna berdiri di bagian sisi depan balkon sambil memegangi pembatas yang tingginya berkisar 1 m.

Anna memandangi kegelapan yang ada di hadapannya. Benar-benar gelap. Tidak ada cahaya lampu sama sekali. Atau mungkin di sekitar sini hanya ada villa ini dan rumah ibu pemilik villa?

Kemudian Anna mengeladahkan pandangannya ke atas. Ia tertegun sejenak.

Mengapa awan dan bintang di desa terlihat lebih mengagumkan?

Di kota sangat jarang sekali terlihat awan berarakan dan langit bermandikan cahaya bintang.

"Sttt." Tiba-tiba ada suara.

Deg.

Anna meneguk ludahnya kemudian bergegas masuk kembali ke dalam kamar.

"Hey, ini kakak." Ujarnya lagi.

Anna tersenyum kemudian membalikkan badan ke posisi semula. Ia mengedarkan pandangannya ke bawah, ke arah teras, Atta sedang duduk di sana.

"Belum ngantuk kak. Kakak belum tidur juga?" Jawab Anna dengan suara pelan, takut membangunkan Stella.

Atta menggeleng.

"Lagi ingin menikmati suasana malam di desa. Rasanya rindu sekali."

Anna tersenyum kemudian mengalihkan pandangannya ke atas.

"Kenapa? Langitnya indah ya?" Tanya Atta.

"Iya kak."

"Itu salah satu penyebabnya. Aku rindu masa kecil bersama orangtua di desa yang tenang seperti ini. Sekarang mereka sibuk, keasyikan bekerja."

"Memangnya orangtua kakak di mana sekarang?"

"Papaku arsitek, beliau sering dapat proyek luar kota. Dulu setiap akhir pekan, beliau selalu pulang. Tapi semenjak aku kelas 2 SD, Papa jarang pulang. Sekalinya pulang, berantem sama Mama."

Atta mengeladahkan pandangannya ke langit-langit, matanya sudah terasa panas, Ia takut bulir-bulir air matanya menetes sebentar lagi.

"Sejak saat itu, Mama udah gak berharap gaji dari Papa lagi. Mama memilih bekerja untuk memenuhi kebutuhanku dan kedua adikku yang masih sangat kecil. Ya, sebelum menikah dengan Papa, Mama seorang desainer tapi kemudian berhenti karena ingin fokus mengurus keluarga. Tapi, semenjak saat itu, Mama kembali menekuni dunia itu lagi hingga sekarang, jangkauan beliau sudah mancanegara." Lanjutnya.

"Mama kakak hebat, kak. Ia bisa jadi wonder woman untuk anak-anaknya."

"Haha, mungkin bagi orangtua, yang anak-anak butuhkan adalah materi. Mainan yang mahal, sekolah yang bagus, cita-cita yang tinggi. Sehingga, mereka bekerja keras untuk itu. Namun, anak-anak juga butuh kasih sayang. Dan itu yang tidak kami dapatkan sedari lama."

"Kak, I'm sorry for hear that. Semoga semua keadaannya membaik ya. Dan, kalian bisa berkumpul sama-sama lagi." Ujar Anna, tidak enak hati.

Atta mengangguk.

"Semoga, Amiin."

"Anna, sebentar. Tunggu di situ." Ujar Atta kemudian bergegas masuk ke dalam. Ia berlari menuju kamarnya dan mengambil sesuatu dari lemari pakaiannya.

Atta tersenyum memandangi syal berwarna maroon tersebut, kemudian Ia kembali menuju teras.

"Nih, tangkap Na..."

"...supaya kamu gak kedinginan." Ujar Atta.

Anna mengaitkan syal tersebut ke lehernya kemudian tersenyum.

"Makasih kak, syalnya bagus."

Atta mengangguk.

"Yaudah sana, kamu tidur. Udah malam, takutnya besok kesiangan." Ujarnya dengan nada mengejek.

Anna geleng-geleng kepala kemudian masuk ke dalam kamar dengan hati berbunga-bunga. Ia terus saja menciumi syal tersebut hingga akhirnya dia mengambil posisi tiduran di samping Stella.

Yang ada, gue makin ga bisa tidur kak.

Anna melirik ke arah Stella beberapa detik.

Maafin gue Stel, gue gak bisa mengontrol perasaan gue.

MoonattaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang