23 - Keluh Kesah

2.9K 277 53
                                    

Menyerah adalah keputusan Vania saat ini, dia membenturkan kepalanya di kemudi mobil dan mendesah pelan, merutuki bahwa apa yang dia lakukan sejak tadi tidak membuahkan hasil sama sekali, Delvin jelas tidak akan peduli dengan semua sikap yang Vania berikan kepadanya, berharap bahwa cowok itu akan cemburu jika Vania memilih berjalan dan mengalun mesra bersama Bima tadi. Sesungguhnya itu hal konyol karna pada dasarnya Delvin sama sekali tidak memusingkannya cowok itu bahkan kelihatan biasa-biasa saja, tidak mengejar Vania ataupun meminta penjelasan.

Betapa mirisnya Vania, menyukai cowok yang jelas tidak menyukainya.

"Vania udahlah jangan murung gitu, lo kelihatan kayak nggak punya semangat hidup." Bela yang duduk di samping kemudi mobil mengangkat tangannya untuk mengusap belakang punggung Vania, berharap cewek itu bisa sedikit melupakan suasana hatinya yang kelam dan segera menjalankan mobil keluar dari sekolah.

"Iya mending gue mati aja deh, udah nggak sanggup hidup gue."

Gumaman Vania membuat Bela yang awalnya mengelus punggungnya berganti menjadi satu pukulan kuat hingg Vania maringis dan mendudukan posisinya normal. "Sadar di dunia ini cowok bukan hanya Delvin."

Vania cemberut. "Lo mukulnya sakit!" lalu dia melanjutkan dengan wajah di tekuk "tapi lebih sakit hati gue yang lagi hancur."

"Terlebay." Adel yang duduk di kursi belakang mengomentari dengan kerlingan mata malas.

"Jadi gini yah rasanya suka sama orang yang jelas-jelas nggak suka sama gue." dia terdiam sesaat dengan kondisi mata yang sudah berkaca-kaca. "ternyata benar kata Alex, karma itu ada."

Pandangan Bela menyenduh. "Vania."

"Berarti selama ini orang yang gue pacarin dengan cara main-main juga ngerasain hal yang sama, atau mungkin lebih sakit dari hal ini, gimana pun mereka pasti benci sama gue, iyakan?"

"Vania lo nggak boleh mikir kayak gitu." Adel yang semulanya tengah memainkan ponselnya dengan seru secara mendadak meninggalkan aktivitasnya dan beralih menenangkan Vania.

"Ya, gue emang jahat nggak heran kalau gue pantas nerima hal kayak gini." Lalu dia menutupi seluruh wajahnya dengan kedua tangan, terisak hingga tubuhnya ikut tergetar.

Bela yang duduk dekat dengan Vania, menarik cewek itu ke dalam dekapan dan mengelus punggungnya pelan. "Vania udah, jangan nangis."

Adel ikut menenangkan dengan mengelus pundak Vania. "Iya Vania, jangan sedih dong, kan kita jadi sedih juga kalau lihat lo nangis kayak gini."

Vania menarik dirinya dari pelukan Bela kemudian duduk dengan normal sembari menarik beberapa lembar tisu yang terletak di atas dashboard "Sialan gue nangis gara-gara cowok huh." ini kali pertama, seingatnya begitu.

"Vania coba deh lo ajak Delvin bicara berdua, terus terang tentang semua perasaan lo ke dia, mungkin dengan begitu dia bisa tau perasan dan keadaan lo sekarang."

Vania menggeleng ke arah Adel. "Percuma."

"Percuma karna lo belum pernah nyoba Vania."

"Emang apa yang bisa gue harapkan dari dia selain dia yang hanya bisa ngasih rasa sakit ke gue."

Bela memegang kedua pundak Vania lalu menatapnya seolah memberikan dukungan. "Jangan pernah nyerah Van, kita selalu ada buat kamu kok."

Lalu Adel menyambung. "and Vania that we know will not give up easily."

"Kok kesannya kayak gue mau naik gunung everest terus kemungkinan besar nggak bakal bisa balik gitu yah sampai lo berdua ngasih dukungan selebay dan sedalam ini, dan sejak kapan juga lo berdua jago bahasa inggris? By the way kalian berdua yang gue kenal nggak sepintar itu."

KinqueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang