55 - Aku Yang Takan Pergi

1.8K 152 41
                                    

Delvin tidak pernah mempermasalahkan mau bagaimana cuaca menyapanya setiap hari, meski itu hujan atau malam tanpa bintang seperti saat ini. Dia akan tetap melakukan apa yang dia inginkan tanpa merasa itu adalah kendala, apalagi jika persoalan ingin menemui Vania, istilah basinya mungkin walau badai, hujan, guntur menerjang Delvin akan tetap menemui gadisnya tanpa harus memikirkan konsikuensi yang akan ia dapatkan kedepannya.

Semenjak pertemuannya dengan Vania kemarin di perpustakaan, hubungan mereka kembali membaik walau masih tak bisa secara terang-terangan mengumbar kedekatan itu sudah lebih dari cukup untuk bisa saling memahami satu sama lain. Delvin tahu ini sulit bagi mereka tapi untuk sementara mereka harus bisa bertahan dalam kondisi seperti ini hingga Delvin mendapatkan cara yang paling aman agar hubungan mereka bisa kembali seperti dulu lagi.

"Udah beres?" Tanya Delvin yang tengah berbicara lewat handphone sembari mengendarai mobilnya menyisiri jalan raya malam ibu kota. Rautnya tampak serius, tak sabar mendengar jawaban lawan bicaranya dari seberang.

"Harusnya sekarang gue sedang duduk di club minum segelas bir dan di temani cewek sebohay pinggul Adriana Lima. Dan bukannya mukulin orang sampai pingsang persis kek mau ngerampok."

"Gue anggap kerjaan lo udah beres."

"Shit!" Maki Ruel yang merupakan lawan bicara Delvin dari seberang. Cowok bule itu tampak tak percaya dengan apa yang dia lakukan setelah memukul habis tiga orang penjaga suruhan Ayah Delvin yang memang sengaja dikirim untuk memata-matai Vania beberapa hari belakangan ini. Bukan tanpa alasan, dua puluh empat jam non-stop mereka mengawasi Vania dan melaporkannya kepada Aldarich perihal berjaga-jaga kalau saja Delvin dan Vania benar-benar masih berhubungan.

Ruel kira tamasya kecilnya ke Indonesia akan menyenangkan namun dia malah jadi suruhan Delvin untuk mengawasi apa yang dilakukan Aldarich dan mengurus para penjaga bayaran yang di perintahkan Aldarich belakangan ini, bukan tanpa sebab dia sering bertemu dengan Vania, semuanya sudah di rencanakan, Ruel selalu menghalangi serta mencegah para penjaga-penjaga bayaran itu agar tidak bisa mengamati Vania lebih dekat, bahkan hingga malam ini dia rela menunda jadwal hura-huranya dan memilih membereskan apa yang di perintahkan Delvin.

Salah-satunya seperti menghabisi para suruhan Aldarich yang awalnya tengah melakukan aksinya di depan rumah Vania tentunya mengamati dalam kondisi sembunyi-sembunyi. Tak butuh waktu lama untuk membuat tiga pria berbadan bongsor itu pingsan, Ruel hanya butuh waktu tak lebih dari lima belas menit dan semuanya beres tanpa kesalahan sedikitpun.

"Gue rasa lo harus kesini lebih cepat Vin," Ujar Ruel ketika dia tengah berdiri di seberang jalan komplek tak sengaja mengamati Vania yang sedang berdiri mengunci jendela kamarnya di lantai dua.

Delvin menaikan sebelah alisnya. "Maksud lo?"

"Vania kayaknya mau tidur, dia udah nutup jendela dan biar gue tebak dalam hitungan ketiga lampu kamarnya bakalan mati. Satu.. Dua... Tiga," Dan cahaya yang tersorot lewat jendela kamar Vania ternyata benar-benar padam. "NAH BINGGO, tebakan gue bener."

Delvin memutar matanya malas. "Intinya penjaganya udah lo beresin kan?"

"Aman."

"Thanks."

"Gimana kalau bayarnya dengan Wine Chateau Margaux 1787?"

Lagi-lagi Delvin menghembuskan nafas kasar. "Fine."

Terdengar kekehan Ruel dari seberang. "Okey, see you my Chateau Margaux 1787."

"Terserah." Adalah ucapan terakhir Delvin sebelum dia menutup panggilan Ruel dan fokus menyetir. Hanya butuh waktu tak kurang dari dua puluh menit Delvin telah tiba di depan gerbang rumah Vania. Dia menghela nafas sejenak, sebelum turun dari mobil dan menatap dalam diam ke arah jendela kamar Vania yang telah gelap di padam lampu. Ada rasa mengelonjak ingin segera bertemu Vania namun dia tahu hal itu takan semuda seperti dulu, bisa jadi malam ini dia hanya bisa memandang dari jauh dan pulang dengan harapan nihil.

KinqueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang