52 - Bentangan Jarak

1.6K 157 42
                                    

Vania baru memperoleh kesadaran begitu ia mengernyit pelan dan merasa sakit di kepalnya kian berdenyut. Dia membuka kelopak matanya secara perlahan, melihat dominasi ruangan berwarna putih yang samar-samar membawa bau antiseptik masuk ke dalam penciumannya. Ada rasa hangat yang menjalar lewat pergelangan tangannya membuat Vania sedikit menolehkan kepala dan menemukan seorang cowok yang tampak familir sedang duduk menggenggam tangannya erat.

Vania mengerang samar, membuat Delvin refleks mendongak, mengamati Vania yang telah sadar. "Kamu baik-baik aja?"

Mendengar suaranya saja membuat Vania yakin kalau itu adalah Delvin. Dia tidak ingat kapan dan bagaimana mereka membawanya ke UKS, yang dia tahu hanyalah kesadarannya mulai hilang ketika upacara tadi. Vania bukan termaksud golongan yang gampang sakit atau memang memiliki daya tahan tubuh lemah, dia cukup tahan banting untuk seukuran proporsi perempuan feminim, hanya saja dia sempat dibikin bingung mengenai kesehatannya yang menurun drastis akhir-akhir ini.

Berat badannya turun tak masuk akal, dia gampang pusing serta memiliki insomania dadakan yang datang menyerang hampir tiap malam.

"Vania," Delvin memanggil lagi.

Vania bangkit dari baringnya secara perlahan, kepalanya berdenyut walau begitu dia memaksakan diri, sempat melihat ke arah Delvin yang tampak cemas sebelum dia menarik tangannya dari genggaman Delvin. "Ngapain kamu disini?!"

"Kamu pingsang di lapangan gara-gara capek dan kelaparan. Kenapa kamu nggak makan hah? Kamu berencana mau mati muda?!"

"Bukan urusan kamu!"

"Vania." Sengaja ketika Delvin ingin meraih pergelangan tangan Vania membantu cewek itu untuk turun dari brangkar. Secara tak terduga tangannya langsung di tepis oleh Vania dengan kasar.

Vania turun dengan hasil usahanya sendiri, walau masih pusing dia tetap memaksakan diri untuk melangkah dan besikap tak peduli akan keberadaan Delvin. Bagaimana pun juga Delvin tetaplah seseorang yang harus dia jauhi dari hidupnya, tak peduli seberapa besar rasa cinta yang masih memenuhi seluruh ruang hati, sekalipun tak pernah berubah. Rasa sakit akan cinta harus segera dihilangkan agar tak tersiksa.

Delvin mengerang samar, menarik tangan Vania hingga membuat tubuh cewek berambut panjang itu berbalik menghadapnya. "Aku masih disini. Kamu mau pergi gitu aja?"

"Vin tolong, lepas."

"Vania."

Vania memaksakan diri agar tangannya bisa lepas dari genggaman Delvin, namun usahanya sia-sia.

"Sebenarnya mau kamu itu apasih?" Vania bertanya dengan resah. "Kalau kamu bersikap kayak gini karena ingin memperingatkan aku supaya nggak suka lagi sama kamu. Nggak usah khawatir, kamu nggak akan terganggu untuk kedepannya. Aku akan menjauh dari kamu, dan aku menyerah."

Delvin terdiam, tidak mengatakan apapun. Namun perasaannya serasa terhempas jatuh ke poros paling terdalam.

"Itu kan yang kamu mau? Jadi tolong kalau memang kamu udah nggak ada perasaan apapun lagi sama aku. Lepasin aku sekarang."

Bagaimana kalau aku bilang perasaanku masih tetap sama. Masih sangat mencintai kamu.

Delvin bernafas kasar, lantas melepaskan tangan Vania dengan rasa penuh ketidak relaan. Sengaja begitu Delvin melepaskannya, Vania langsung berlalu keluar berusaha menahan air matanya agar tak menetes lagi. Secara kebetulan saat Vania melangkah dari ruangan dia berpapasan dengan Delon yang tampak berlari di koridor dengan ekspresi wajah sangat khawatir mendekatinya.

"Vania, lo nggak apa-apa?" Tanya Delon, tadinya dia tidak diperbolehkan meninggalkan upacara tanpa alasan yang jelas, dia begitu cemas saat segerombolan cewek di barisannya mengatakan bahwa Vania pingsan dan dibawa ke UKS. Seolah pikiran Delon hanya di pusatkan kepada Vania seorang, buru-buru usai upacara berakhir—— sebetulnya tidak sepenuhnya selesai karena sebelum hormat penutup untuk kordinatoor upacara diberikan—— Delon sudah lari seperti orang kerasukan.

KinqueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang