Satu-satunya kesalahanmu adalah membuatku jatuh cinta padamu.
Ada kalanya Delvin tidak bisa memikirkan apapun ketika merasa canggung, dia hanya terus-menerus menghela nafas berat melihat Vania yang masih bersusah payah mencoba untuk membuka pintu dengan segala akalnya, namun semuanya sia-sia. Sebegitukah cewek itu tidak mau bersamanya sampai rela ingin mendobrak pintu saat ini juga? Delvin sendiri tidak melakukan apapun selain hanya bisa duduk diam dan menatap punggung Vania yang tengah berdiri di dekat pintu serta berteriak tak jelas berharap ada orang diluar yang bisa mendengar suaranya.
"TOLONG! SIAPAPUN YANG ADA DI LUAR! TOLONG BUKAIN PINTUNYA! WOY!"
Hampir dua jam lebih mereka terjebak, mengingat gudang properti posisinya jauh dari ruangan kelas wajar saja kalau tidak ada satupun murid-murid yang berlalu-lalang di area sekitar. Vania sendiri merutuki dirinya karena meninggalkan ponselnya di atas meja kelas, kalau saja dia membawa benda pipih itu mungkin dia sudah bisa keluar dari tadi dan saat ini sudah bermanjah ria di rumah.
Vania mengacak rambutnya kacau, sedari tadi yang memang paling sibuk adalah Vania, sementara Delvin jangan ditanya cowok itu hanya duduk tenang tanpa melakukan usaha sama sekali. Bahkan beberapa kali ia sengaja mengambil dokumen-dokumen lama dan membacanya santai seakan tidak terjadi apapun.
"SIAPAPUN WOY TOL--Uhuk! Aish!" Vania terbatuk-batuk ketika merasa debu masuk ke dalam tenggerokan belum lagi ditambah dengan dirinya yang terlalu banyak berteriak seperti orang gila membuat suaranya habis. Pada akhirnya cewek bersurai panjang itu memilih melampiaskan kekesalannya dengan menendang pintu namun alih-alih merasa puas, ia malah merintih kesakitan karena kakinya sakit. Delvin yang melihatnya pun hanya bisa menggeleng-geleng tak habis pikir. Vania memang tidak pernah berubah tetap konyol dan ceroboh.
Vania berdehem canggung, sejenak ia melemparkan tatapannya kepada Delvin yang kini tengah membaca serius tanpa memperdulikannya. Vania memberengut sebelum menarik kursi kosong dan duduk dengan tenang tak jauh dari Delvin.
"Ngomong-ngomong, Makasih." Vania menggosok-gosokan kedua telapak tangannya ke paha, canggung. "Soal bola basket kemarin."
Delvin mendongak sejenak, kemudian kembali membalikan halaman dokumen OSIS bacaannya.
Vania tidak bisa membayangkan kalau saja kemarin tidak ada Delvin, mungkin sekarang kepala Vania sudah di perban melingkar karena bengkak habis dicium bola basket. "Punggung kamu gimana? Baik-baik aja kan?"
Vania berdecak ketika Delvin sama sekali tidak menjawab seolah Vania adalah setan yang tidak bisa dia lihat dan pantas di abaikan. Hal itu tentu sangat mengganggu Vania, kalau memang dia tidak mau peduli seharusnya kemarin dia tidak usah menyelamatkan dirinya agar tidak terkesan memberi harapan.
"Aku nggak ngerti!" Vania berucap lagi kemudian melanjutkan dengan nada rilih. "Aku nggak ngerti aku salahnya dimana? Sampai kamu sebenci ini sama aku. Kalau memang aku bikin salah seharusnya kamu bilang dan nggak main pergi aja, bikin aku bingung sendiri. Jika memang semua ini berawal karena permainan raja, ratu bodoh itu, kamu seharusnya putusin aku jauh sebelum aku jatuh cinta sama kamu! Dengan begitu nggak ada yang tersakiti."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kinque
Teen FictionVania Zerlinda pernah berkata. "Gue nggak akan, ninggalin sahabat gue demi cowok." Tiba-tiba, Delvin Arsen Aldarich selaku ketua OSIS paling tampan satu sekolahan lewat. "Minggir dulu lo sono, buset ganteng banget tuh cowok." "Bangsat, Vania." "Maa...