Gumpalan uap dari kopi arabica yang masih panas menaiki permukaan hingga bercampur dengan udara di sekitarnya, Aldarich tersenyum khas seorang ayah begitu melihat Vania yang duduk di depannya menyuapkan sesendok ice cream rasa vanilla yang tadi ia pesan ke dalam mulut, suasana yang tercipta masih terkesan hening sesekali yang terdengar hanyalah suara menyeruput kopi yang di ciptakan Aldarich.
"Jadi, kamu sekelas dengan Delvin?" pertanyaan pertama setelah sekian menit hening.
"Ya?" Vania mengerjap beberapa kali. "Ah, tidak. Saya beda kelas sama Delvin."
"Begitu rupanya," Aldarich mengangguk sekali. "Lalu bagaimana kalian saling kenal?"
Pertanyaan keramat karna setelah dilempar pertanyaan sepeti itu Vania kembali mengingat kelam pertemuan pertamanya dengan Delvin yang bisa di katakan sangat tidak normal, jangan singkirkan fakta kalau Delvin pasti sangat membencinya dulu, ingat! dulu.
"Delvin sangat terkenal di sekolah, semua orang tau dia. Dia pintar, ganteng, bisa lakukan apa saja yang dia mau, semua cewek suka tipe cowok seperti dia, mungkin saya hanya beruntung bisa jadi pacarnya. Pertemuan pertama kita mungkin sedikit tidak menyenangkan, tapi dari situ saya tau bahwa Delvin benar-benar cowok yang sabar."
Aldarich tersenyum. "Kamu yakin dia sabar?"
"Ya walaupun kadang-kadang dia sedikit cuek dan agak,"
"Agak?"
Vania berbicara sedikit berbisik. "Kejam."
Tawa Aldarich pecah begitupun dengan Vania yang tertawa cengengesan, tidak apa-apa kan kalau sekali-kali dia mengeluh dan mengadukan sikap Delvin kepada Ayahnya, siapa tau setelah ini Delvin dikasih sedikit mukadimah dari Ayahnya.
"Kamu anak yang menyenangkan."
"Makasih Om."
"Tidak heran Delvin memilihmu untuk menjadi pacarnya."
Dan untuk yang satu ini, mendadak membuat Vania malu walaupun kadang kala dia sering tidak tahu malu.
"Jika dilihat lebih lama, ternyata apa yang dikatakan Delvin benar, kamu memang anak yang cantik dan periang."
Vania termangu sejenak. "Delvin bilang begitu?"
"Ya, dia banyak cerita tentangmu, kamu gadis yang pintar bersosialisasi, ramah, sudah menghasilkan uang sendiri di usia muda lewat media sosial dan punya talenta melakukan permainan musik di klub yang apalah itu namanya Om lupa,"
"Disk jokey."
"Ya itulah, kemudian masih banyak lagi yang dia ceritakan, terlalu banyak Om lupa sebagiannya."
Vania tersenyum mendengar cerita Aldarich. "Om pasti sangat, sangat dekat dengan Delvin."
"Tentu, kami sangat dekat melebihi apapun bahkan dia bisa lebih menempel dari pada lem."
"Ternyata dia punya sifat manja yang nggak diketahui orang lain," Vania tekekeh kecil merasa lucu dengan sifat terpendam Delvin. "Tapi ngomong-ngomong Om saya sudah tidak lagi bekerja sebagai disk jokey dan memutuskan nggak aktif lagi sebagai selebgram."
"Hm?" Aldarich menaruh kembali kopi yang sempat ia seruput tadi ke atas meja. "Kenapa?"
"Hanya ingin, saya rasa itu pilihan yang tepat."
"Keputusan yang bijak."
Perbincangan mereka mendadak terhenti sejenak begitu ponsel Vania yang dia taruh di atas meja berdering tanda bahwa ada panggilan masuk, cewek berambut panjang itu sempat melirik ke arah Aldarich yang dibalasnya dengan memberi waktu untuk Vania mengangkat panggilan sebentar. "Permisi Om, Delvin telepon."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kinque
Novela JuvenilVania Zerlinda pernah berkata. "Gue nggak akan, ninggalin sahabat gue demi cowok." Tiba-tiba, Delvin Arsen Aldarich selaku ketua OSIS paling tampan satu sekolahan lewat. "Minggir dulu lo sono, buset ganteng banget tuh cowok." "Bangsat, Vania." "Maa...