24 - Pengakuan

3.1K 261 45
                                    

Decitan pintu kamar terdengar jelas terbuka tapi hal itu tidak membuat Vania berbalik untuk memastikan siapa yang masuk ke kamarnya, cewek bersurai panjang itu malah hanya menghembuskan nafasnya untuk yang kesekian kali lalu menaikan selimut putihnya hingga sebatas leher, memejamkan mata tanpa mau tau dengan keadaan di sekitarnya.

"Sampai kapan lo mau gitu terus Van, udah sore tau, dan lo belum makan apapun dari tadi pagi."

Vania mengabaikan, walaupun tak melihatnya Vania hapal jelas kalau itu adalah suara Gavriel.

Gavriel menghembuskan nafasnya pongah, menyandari kuseng pintu dengan pandangan mengarah ke punggung Kakaknya yang kini tengah berbaring di ranjang seperti orang kehilangan semangat hidup. "Ada tamu di bawah, mau ngantar barang endorse katanya, lo mau turun temuin atau gue suruh pergi orangnya?"

Tidak ada sahutan dari Vania, membuat Gavriel berdecak.

"Yaudah gue suruh pergi orangnya." putus Gavriel ingin beranjak pergi tapi gerakan Vania yang mendadak bangkit dari baringnya, sejanak membuat Gavriel urung dan masih bertahan di kuseng pintu, menatap penuh teliti ketika dia menyadari bahwa kini mata Vania sembab dengan bengkakan parah serta munculnya dua kantung mata di bawahnya. Gavriel berpikir, rupanya Vania benar-benar serius menghabiskan seluruh air matanya untuk menangisi kejadian kemarin —— di mana dengan keputusan minim dia pergi meninggalkan Delvin mengabaikan seluruh ucapan cowok itu lalu berakhir dengan pendaman rasa sakit yang bersarang di dirinya.

Ketika Vania beranjak untuk masuk ke kamar mandi dengan lagak lesuhnya, Gavriel memilih pilihan untuk berjalan masuk ke dalam kamar Vania yang sesungguhnya tidak bisa di katakan kamar karna hampir serupa kapal pecah tak berpenghuni selama puluhan tahun. baju-baju berserakan di mana-mana, barang-barang berceceran di sana-sini, tak kelupaan di sisi ranjang pun banyak terdapat sisa-sisa lembaran tisu yang sangat memperkuat keyakinan Gavriel bahwa Vania pasti menangis semalam suntuk hanya karna seorang cowok.

Tarikan pintu kamar mandi terbuka, refleks Gavriel berbalik hanya untuk mendapati Vania yang baru saja keluar dari sana dengan wajah basah sehabis basuhan dan handuk untuk mengelap muka di tangannya, Vania mengacuhkan Gavriel, membuang handuk di tangannya ke atas tempat tidur lalu berjalan keluar dari kamar, menyisakan Gavriel yang hanya bisa menggelengkan kepalanya ketika melihat sikap Vania yang terlampau acuh, bagaimana bisa ada seorang cewek dewasa yang menaruh handuk basah di ranjang setelahnya akan dia tiduri lagi tempat tidurnya pada malam hari. Sungguh itu bukan sikap yang mencerminkan seorang perempuan charming, yang kordatnya selalu bersih dan rapi.

Untuk saat ini Vania tidak terlalu memperdulikan keadaan di sekitarnya, suasana hatinya tengah kacau sekarang, tentu saja alasannya karna Delvin, cowok yang Vania sukai setengah mati tapi pikirannya selalu berkata bahwa dia tidak akan bisa menggapai cowok itu, ketahuilah mungkin ini adalah masa remaja Vania yang paling berat untuk dia hadapi, persoalan cinta adalah hal yang paling menyulitkan ketika dia kenal dengan seorang cowok seperti Delvin Arsen Aldarich yang berhasil mempora-porandakan isi hatinya.

Langkah kakinya membawa Vania turun dari undakan anak tangga, berjalan menuju seorang perempuan yang kini tengah duduk tenang di sofa ruang tamu, pandangan mereka bertemu, membuat sang empu yang menunggu langsung tersenyum lebar sesaat setelah Vania duduk di hadapannya.

"Hai Van—— loh kok mata lo bengkak kayak gitu? Kenapa, sakit yah?"

Vania menggeleng sekenanya, lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa.

"Yakin?"

"Langsung ke intinya aja, mbak." ketus Vania tidak ingin memperpanjang jangka obrolan mereka.

"Vira bukan mbak."

Vania mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah. "Itulah serah."

Cewek bernama Vira itu mendengus kecil, mengeluarkan sebuah kotak hitam dari dalam tas gandengnya lalu menaruhnya di atas meja. "Kali ini produknya Liptint sama BB cream, kayak biasa paid endorse yah bikin vidio pendek, captionnya terserah Vania yang penting sekreatif mungkin."

KinqueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang