Langit berwarna gradasi oranye menjadi latar belakang pemandangan taman di dekat komplek sore ini. Angin berhembus sedikit lebih kencang dari biasanya, membuat beberapa helai rambut Jeje berterbangan menetupi muka. Langsung saja Jeje menyelipkan rambutnya kebalik telinga.
Jeje merasakan jantung nya sedikit berdegup lebih cepat saat melihat seorang lelaki sedang turun dari motor dan melepas helm nya. Lelaki itu merapihkan rambutnya yang sedikit berantakan sebelum ia berjalan menghampiri Jeje yang sudah menunggu dari tadi.
Melihat lelaki itu berjalan menghampirinya, Jeje bangkit dan merapihkan kaos biru dongker yang ia pakai. Sebenarnya, Jeje bingung, ada urusan apa Seno mengajaknya untuk bertemu di taman sore ini. Jeje merasa hubungannya dengan Seno tidak pernah ada masalah atau apa pun lainnya.
Lelaki itu berjalan mendekat sambil menatap mata Jeje. Ia mengenakan jaket berwarna abu-abu dipadukan dengan celana jeans hitam. Jeje menatap balik Seno sampai lelaki itu berada di samping nya.
"Sorry ya lama, tadi agak macet hehe," ucap Seno sambil menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak terasa gatal. Ia merasa tidak enak hati karena telah membuat Jeje menunggu sendirian di taman ini.
"Iya gapapa. Btw, ada apa sih kak?" tanya Jeje sambil menatap Seno yang sedang melepas jaket nya.
Seno menyampirkan jaket pada tangannya. Ia menatap perempuan yang ada di hadapannya. Degupan jantungannya bertambah cepat setelah Jeje menatap matanya balik. Cukup lama Seno menatap mata Jeje.
Sadar sedang ditatap, Jeje merasa canggung. "Hm, kak?" Jeje melambaikan tangannya di hadapan Seno.
"Oh iya, duduk aja dulu." Seno menyuruh Jeje untuk duduk. Ia pun ikut duduk di sebelah Jeje.
"Jadi, ada apa kak?" tanya Jeje lagi.
Seno terdiam sejenak. "Ada apa? Emang ada apa?"
Sontak Jeje terheran. Bagaimana tidak, jelas-jelas tadi, begitu Jeje sampai di kamar nya, terdapat pesan masuk dari Seno yang menyatakan bahwa ia ingin bertemu dengan Jeje.
Sementara itu, Seno sendiri merasa bodoh dengan melontarkan pertanyaan seperti itu. Jujur, sebenarnya ia sendiri tidak mengetahui apa yang akan ia bicarakan dengan Jeje. Seno hanya ingin mengobrol dengan perempuan itu, dan ia ingin bisa lebih mengenal Jeje. Seno juga merasa heran, mengapa ia bisa-bisa nya mengajak Jeje ketemuan tanpa tujuan yang jelas.
"Hm, maksud kita, ki—kita mau na—warin ira buat masuk OSIS," ucap Seno gugup. Entah apa yang harus ia katakan saat ini.
Jeje menyerinyitkan dahinya. "Jadi cuma mau nawarin itu doang?"
Seno memutar otak untuk mencari topik pembicaraannya dengan Jeje. Sungguh, apa yang sudah dilakukan Seno ini adalah hal terbodoh menurut dirinya.
Seno menggigit bibir bawahnya pelan. "Hm, ya, nggak juga sih. Kita pengen ngobrol-ngobrol aja."
Jeje memerhatikan Seno dengan seksama. Lelaki ini terlihat kebingungan. "Kak Seno gapapa kan?"
"Nggak kok, kita gapapa," jawabnya.
Jeje menganggukan kepalanya sambil membenarkan posisi duduknya jadi menghadap ke depan. Sebenarnya, ia masih bingung, apa yang sebenarnya Seno inginkan. Seperti ada sesuatu yang lelaki itu sembunyikan.
Lima menit berlalu tanpa ada pembicaraan apapun diantar mereka. Lidah Seno begitu kelu untuk mengeluarkan sepatah kata saja. Tiba-tiba handphone lelaki itu bergetar. Segera ia mengambil dari dalam saku celananya. Rupanya, terdapat panggil masuk dari Julia—ibunya.
"Assalamualaikum. Ada apa ma?"
"..."
Seno terlihat sedikit membuka mulutnya. "Kok bisa? Se—sekarang gimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
JASENFA
Подростковая литература[On Going] Seseorang pernah berkata pada Jasmine, "Jangan selalu terfokus pada seseorang yang kamu cinta. Lihat. Di sana ada orang yang selalu mencintai, menyayangi, dan melindungi kamu dengan tulus, lebih dari orang yang kamu cinta." Semenjak saat...