JASENFA; 7

16 2 0
                                    

Ketukkan pintu berkali-kali membuat Jeje menjadi risih. Ia menaruh sabuk sekolahnya di atas kasur yang sebenarnya tadi ingin dipakai. Dengan malas, Jeje berjalan menuju pintu kamar nya. Ia membuka pintu tersebut.

Terlihat abangnya itu sedang berdiri dihadapan pintu kamar sambil mengusap matanya. Rayn seperti baru bangun tidur. Lelaki itu masih mengenakan kaos semalam dengan celana pendek yang biasa ia kenakan saat tidur. Rambutnya juga berantakan, kaos yang ia kenakan juga tidak rapih. Jeje menyerinyit heran, menduga kalau abangnya itu baru terbangun dari tidurnya.

"Lo baru bangun tidur?" Jeje melihat ke arah jam dinding di kamarnya, "Ini udah jam berapa abang Rayn?!"

Jeje cukup kesal pagi ini. Bagaimana bisa Rayn baru bangun jam segini?

Pagi-pagi begini, mood Jeje sudah dibuat hancur oleh Rayn. Jeje tidak ingin terlambat. Perempuan itu sudah mengetahui apa yang harus ia terima jika terlambat.

Walau gerbang depan sekolahnya itu masih dibuka, dan cukup untuk tubuh seseorang melewatinya, namun sudah pasti gerbang kedua sudah di tutup oleh Pak Basro. Dan bila sudah begitu, mau tidak mau, setiap siswa yang terlambat itu harus melaksanakan hukuman yang memang sudah ditetapkan.

Pak Basro akan menyuruh mereka untuk berjongkok dengan tas masih digendong selama kurang lebih satu jam setengah. Kemudian, meraka akan disuruh untuk Sholat Dhuha 12 rakaat. Baru setelah itu mereka akan kembali ke kelas masing-masing.

Dan Jeje tidak mau itu. Bukan. Bukan Jeje tidak ingin Sholat Dhuha nya, tetapi acara jongkoknya itu yang ia tak suka. Dipikir tidak berat apa berjongkok sambil menggendong tas yang berisi buku-buku tebal? Jeje tidak suka itu.

"Iya, gue lupa masang alrm semalem." Rayn mengusap wajahnya. "Oh ya, di luar ada temen lo tuh."

"Temen gue? Siapa?"

"Nggak tau. Dia cowok."

Nggak tau? Berarti bang Rayn nggak kenal? Bukan kak Zenfa ya? Eh apa sih aduh, batin Jeje.

Perempuan itu memukul pelan kepalanya sendiri. Ia merasa bodoh, memikirkan sesuatu yang rasanya mustahil. "Ya udah. Mandi lo!" Jeje melewati Rayn sambil memukul pundak kakak nya itu.

Perempuan bernama asli Jasmine itu berjalan menuju teras rumahnya. Ia melihat seorang laki-laki mengenakan jaket berwarna biru dongker dengan tas berwarna hitam digendong nya. Laki-laki itu duduk di kursi tamu yang berada di teras. Dari perawakannya, Jeje tidak tau pasti siapa lelaki itu.

"Hm, hay!" sapa Jeje ramah, walau ia tidak tau siapa yang sedang menunggunya.

"Pagi Jeje!" Laki-laki itu berdiri menghadap ke arah Jeje. Melihat siapa yang datang pagi ini, membuat Jeje sedikit terkejut.

"Lo ngapain pagi-pagi gini ke rumah gue?" tanya Jeje.

"Kita kan janjian mau berangkat bareng. Jadi ya kita ke sini lah," ucap nya sambil tersenyum.

"Janjian? Kapan? Gue nggak ngerasa minta dijemput lo deh, Tam."

Jeje merasa, Tama ini hanya mengada-ngada. Semalam tidak ada satu pesan pun dari Tama yang mengatakan bahwa ia akan menjemput Jeje pagi ini. Hanya saja, laki-laki itu memang menanyakan alamat rumah Jeje. Entahlah apa maksud Tama saat ini.

"Hadu. Pokonya ni ya, berhubung kita udah di sini juga, ayo lah berangkat bareng! Masa ira tega sih, kita kan udah ke sini."

"Tapi kan Tam–"

"Ayo lah Je! Apa salahnya sih berangkat bareng doang. Emang bakal ada yang marah?"

"Ghina gimana?"

JASENFATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang