JASENFA; 22

13 0 0
                                    

Drttt! Drtt!


Benda persegi panjang yang sengaja pemiliknya taruh di atas nakas dekat tempat tidur bergetar sebanyak dua kali. Sang pemilik tidak memperdulikannya. Ia sibuk menyisir rambut sebahu miliknya yang baru selesai dikeramas.

Sebenernya ia tahu bahwa ada pesan masuk ke dalam ponselnya. Namun, sengaja ia hiraukan agar degupan jantung yang melanda sejak beberapa menit yang lalu tidak semakin terasa. Entah mengapa degupan itu muncul bersamaan dengan ponselnya yang bergetar. Menurut pikirannya, jika ia merasa degdeg-an, biasanya ada yang akan terjadi nanti. Atau, perasaan gelisah itu muncul karena ke-geer-an terhadap pengirim pesan tersebut. Sok tau.

Perempuan itu beranjak dari meja rias untuk mengecek ponsel miliknya itu. Sudah tak tahan lagi untuk menahan rasa penasarannya.

Ia menatap layar ponselnya lekat - lekat. Perasaannya langsung bercampur aduk. Ini yakin?

Ayah💙: Jasmine, ayah ada di Cirebon hari ini. Hanya hari ini. Demi kamu, sayang. Ayah dengar dari Rayn, kamu sakit. Kamu nangis. Itu bikin hati ayah juga sakit. Temui ayah mu ini di hotel yang waktu itu. Ayah tunggu, nak. Maafkan ayah tidak bisa jemput kamu di rumah. Ayah tidak bisa menyakiti hati ibu kamu lagi.
Ayah💙: Ayah tunggu kamu di sini. Ayah sayang Jasmine.

Tanpa sadar dan entah sejak kapan, tetes demi tetes air mata membasahi layar ponselnya. Perempuan itu berusaha menahan isakan tangisnya. Ia tidak ingin Fania mendengar tangisannya. Ia tak sanggup melihat ibunya sedih kembali.

Tak kuasa rasanya hanya untuk sekedar mengiakan pesan dari Amran. Tak tahu mengapa serapuh ini perempuan itu jika berhadapan dengan ayahnya. Jika ditanya apakah ia kecewa, jelas, Jeje sangat kecewa. Namun sekecewa apa pun ia terhadap Amran. Rasa sayangnya jauh lebih besar.

Buru-buru Jeje mengelap air matanya. Kemudian perempuan itu berlari menuju kamar abangnya. Tanpa mengetuk dan berbasa-basi, Jeje langsung menerobos masuk ke dalam kamar abangnya itu.

Jelas saja, Rayn terkejut melihat adiknya secara tiba-tiba sudah berada di dekat pintu. Terlihat dengan jelas, adik perempuannya itu habis menangis. Matanya merah, sembab.
Rayn menegakkan posisi duduknya. Lelaki itu bersandar pada sandaran tempat tidur sambil tetap menatap adiknya yang berjalan mendekat.

"Kenapa lo? Nangis?" tanya Rayn sambil menaruh ponselnya di samping badan.

Jeje duduk dipinggir tempat tidur milik Rayn. Tepat di samping abangnya itu.
Perempuan itu menghadap ke arah Rayn. Menatap matanya. Dengan sedikit ragu, akhirnya ia mulai bertanya.

"Lo nggak main-main sama omongan lo ya, bang?" tanya Jeje kemudian.

Rayn mengerutkan dahinya heran. "Sejak kapan gue main-main sama omongan gue sendiri?"

Jeje menghela napas. "Lo minta ayah buat ke sini?"

Rayn terperanga. Tak tahu jika Amran akan secepat itu mendatangi kota tempat tinggal nya saat ini.

"Ayah udah di sini?" Rayn balik bertanya. Pasalnya, ia benar-benar tidak tahu.

Terakhir Rayn menghubungi ayahnya, hanya sekedar untuk bercerita tentang kondisi Jeje dan memintannya untuk ke sini. Namun tak pernah terpikir jika Amran akan secepat ini mengabulkan permintaan putranya, demi adik perempuannya itu.

Jeje mengangguk. "Tadi ayah WhatsApp gue. Dia bilang udah di Cirebon."

Rayn terdiam. Memikirikan satu hal yang menurutnya sedikit aneh.

"Jadi bener lo yang minta ayah dateng ke sini?" tanya gadis itu lagi.

"Ya kaya apa yang gue bilang kemaren," jawab Rayn. "Gue nggak boong, 'kan?"

JASENFATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang