Pagi ini perempuan berkulit putih itu terkena amukan sang kakak. Pasalnya, dengan tidak sengaja Jeje merusakan headphone milik Rayn semalam. Setelah selesai siap-siap, Jeje berjalan menuju kamar Rayn. Ia mengetuk pintu kamar abang nya, begitu terdengar aba-aba dari Rayn bahwa boleh masuk ke dalam kamarnya, langsung saja Jeje membuka knop pintu kamar Rayn.
Terlihat abangnya tengah menyemprotkan minyak wangi pada tubuh tegap miliknya. Dengan polos nya, Jeje melangkah menedekati Rayn dan menyodorkan headphone milik abangnya yang ia bawa tadi dari kamar. Spontan, Rayn berhenti menyemprotkan minyak wangi nya dan melihat benda yang adik nya itu berikan.
Lelaki itu sedikit lebay, matanya membulat, mulutnya terbuka, ia terkejut. Sementara itu, Jeje mengerutkan dahi nya.
"Lo apain headphone gue Jasmine?!" tanya Rayn dengan nada tinggi.
Jeje menghela napas panjang. "Duh sorry deh bang, itu nggak sengaja sumpah. Gue juga nggak tau, kayanya ketindihan pas tidur."
"Lo tuh nyebelin banget sumpah Je!" Rayn menaruh botol minyak wangi nya di meja, ia mengambil headphone nya dari tangan Jeje. "Lo tau kan ini dari siapa?! Dan seberapa pentingnya buat gue?!"
Rayn merasa benar-benar kesal pagi ini. Bagaimana tidak, headphone itu adalah kenangan dari pacarnya yang telah pergi meninggalkan Rayn untuk selamanya.
Rayn begitu menyayangi perempuan itu. Bahkan, sampai saat ini, lelaki itu masih belum mau membuka hati nya untuk perempuan lain."Ya gue minta maaf banget bang. Gue nggak sengaja. Ya kali si gue matahin headphone lo gitu aja." Jeje mencoba untuk meminta maaf pada kakak nya itu.
"Au ah gue bete sama lo!" Rayn mengambil tas nya dan berjalan melewati Jeje menuju ke ruang makan.
Jeje tidak habis pikir, abangnya berubah layaknya anak kecil yang mainannya dirusak oleh Jeje. Sebenarnya sedikit lucu bagi Jeje, namun jika amarah kakaknya itu terus berlanjut, maka Jeje akan balik marah pada abangnya.
Perempuan itu berjalan keluar kamar abangnya. Sampai di meja makan, ia melihat Rayn tengah memeluk ibu nya yang sedang duduk di kursi makan dengan sebuah kertas di tangannya.
"Ibu kenapa?" Jeje menarik kursi di hadapan ibunya dan duduk. Ia menaruh tas nya di samping kursi.
"Je, hari ini Ibu berangkat ke Jakarta. Ibu bawa mobil. Dan mungkin akan nginep dua hari di sana," ucap Fania. Sementara itu, Rayn melepas pelukannya dan duduk di kursi sebelah ibu nya.
"Loh kok tiba-tiba sih, Bu? Apa emamg mendadak?" tanya Jeje yang masih merasa heran.
"Surat panggilan sidang perceraian Ibu sama Ayah kamu baru nyampe kemaren sore. Sidangnya besok siang. Terus, Ibu juga ada urusan dulu. Makanya Ibu mau berangkat sekarang aja." Fania mencoba untuk menjelaskan apa yang terjadi.
"Nggak apa kan Ibu tinggal? Kalian kan udah pada besar," lanjutnya.
Kini Jeje mengerti. Pantas saja, sedari tadi Fania terlihat sedih dan banyak pikiran. Keadaan seperti ini yang tak pernah Jeje ingin kan. Melihat ibu nya sedih seperti ini yang paling Jeje benci. Siapa pun orang yang telah merusak hubungan ayah dan ibu nya akan selalu Jeje ingat dan benci.
"Iya Bu gapapa. Ibu selesein aja urusannya, kita berdua di sini selalu berdoa dan ngedukung Ibu kok," ucap Rayn sambil mengelus pundak ibunya.
Fania adalah segala nya bagi Rayn. Tidak akan ada yang bisa menggantikan Fania dalam hidup Rayn. Begitu juga dengan Jeje.
Fania tersenyum, ia memeluk putranya. Sementara itu Jeje langsung bangkit dan memutari meja makan, kemudian memeluk ibu serta abangnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
JASENFA
Teen Fiction[On Going] Seseorang pernah berkata pada Jasmine, "Jangan selalu terfokus pada seseorang yang kamu cinta. Lihat. Di sana ada orang yang selalu mencintai, menyayangi, dan melindungi kamu dengan tulus, lebih dari orang yang kamu cinta." Semenjak saat...