JASENFA; 20

15 0 0
                                    

Terdengar suara ketukan pintu sebanyak dua kali sebelum pengetuk pintu tersebut terlihat. Ia memasuki ruangan dengan berjalan secara hati-hati, takut menbangunkan orang yang sedang sakit.

Namun nyatanya, pemuda bernama Zenfa itu telah siuman dari pingsannya. Ia menoleh kearah pintu ruangan inap. Menatap saudaranya yang kini jalan mendekat.

Seno menarik kursi yang berada di samping ranjang Zenfa, kemudian mendudukinya. Laki-laki itu membasahkan bibirnya. Berpikir sekali lagi untuk hal yang akan ia ucapkan. Melihat tingkah Seno yang tak biasa, Zenfa merasa heran.

"Napa dah?" tanya Zenfa memulai pembicaraan.

Seno membuang napas kasar. "Ira tau nggak? Rasanya ditikung—"

Tiba-tiba ponsel yang berada di atas nakas berbunyi. Membuat Seno memberhentikan ucapannya.

"Eh bentar bentar!!" tangan Zenfa terjulur mengambil ponselnya, kemudian menjawab telepon tersebut.

Seno hanya menghela napas.

"Hallo.."

"..."

"Iya Yan kenapa?"

"..."

"Oh oke-oke, mana?"

"..."

Zenfa melirik sekilas ke saudaranya itu yang kini sedang menatap ke arahnya.

"Hallo, Jasmine?"

Jasmine?, batin Seno. Pikirannya kembali bekerja. Sepertinya, ia harus mengurungkan niat nya itu.

"..."

"Oh ya ampun! Dikira apaan. Kita gapapa kok."

"..."

"Iya. Jangan khawatir ya."

"..."

"Iya, waalaikumusalam."

Zenfa menaruh kembali ponselnya itu di atas nakas. Lalu kembali terfokus pada manusia yang ada di sebelahnya itu.

"Apa? Tikung apa tadi?" tanya Zenfa.

Seno diam sejenak. "Hah? It–itu tadi kita di ti–tikung di lampu merah Grage sono. Iya bener di situ."

Zenfa menatap Seno dengan tatapan tak paham. Ia merasa, sepertinya Seno sedang menyembunyikan sesuatu darinya.

"Itu tadi parah banget gila yang bawa motor. Nggak ngotak gitu. Hampir aja kita jatoh," kata Seno dengan sedikit gugup. sesaat setelah itu ia menampilkan sederatn giginya dengan kaku.

"Sen?"

Laki - laki itu menghela napas panjang. Raut wajah nya langsung berubah. "Kita nggak akan ngejer deke lagi," ucapan Seno dengan cepat.

"Lah? Kenapa?" tanya Zenfa.

"Kayanya deke emang nggak akan pernah bisa nganggep kita," jawab Seno. "Dan deke kayanya suka sama ira."

Tawa Zenfa pecah saat itu juga. "Aduh anjir! Jadi tadi tikung - tikung itu mau nyindir kita secara langsung? Pake ditikung di pengkolan lah, bacot!"

"Ya abis ira nya juga! Bikin orang jadi mikirnya kalo ira mau ngegaet deke, setan!" kata Seno sedikit kesal.

"Kalem - kelam woi!" Zenfa menepuk - nepuk pundak Seno. "Nggak mungkinlah kita nikung ira. Kita nggak akan segatau diri itu kali."

"Tapi asli sih, kayanya kita bakal lebih milih diem - diem aja. Give up kita," Seno menyandarkan punggungnya.

Zenfa dian sejenak. Memikirkan sesuatu yang Seno tak tahu. "Apa dah? Lanjut aja sih," ucap Zenfa.

"Nggak tau lah, kita nyerah sampe di sini aja pokoknya," jawab Seno dengan malas.

JASENFATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang