Marselia berjalan santai menuju wastafel dekat kamar mandi di dalam ruang inap VIP ini. Ia membasuh kedua tangannya dengan air mengalir dan sabun. Kemudian ibu beranak empat itu kembali berjalan mendekati Zenfa yang sedang menenggak segelas air putih. Zenfa tersenyum saat Marselia mengambil gelas kosong dari tangannya.
"Kanih, kamu mau apa? Biar mommy beliin," kata Marselia setelah menaruh gelas tadi di nakas.
"Bu," panggilnya. "Kanih lebih suka manggil ibu dengan sebutan ibu, bukan mommy. Marselia adalah ibunya Kanih, bukan mommynya Kanih."
Marselia menatap Zenfa sesaat lalu tersenyum. "Maafin ibu, sayang."
Zenfa mengangguk dan memperlihatkan senyumannya."Maafin ibu. Ibu salah besar selama ini sama kamu," ucap Marselia dengan mata yang berkaca-kaca.
"Nggak seharusnya ibu ninggalin kamu, sayang." Air matanya kini sudah tak bisa ditahan.
Buru-buru Zenfa mengusap air mata itu dari pipi Marselia. Zenfa memang kecewa, tapi ia tak pernah ingin melihat ibunya menangis.
Zenfa meraih tangan Marselia lembut. Laki-laki itu sempat menyesal karena sempat bersikap dingin kepada ibunya saat kemarin sore.
"Kanih emang kecewa. Banyak hal yang pengen Kanih tanyain sama ibu dan ayah, tapi kalo emang ibu nggak sanggup, Kanih nggak akan maksa. Tapi Kanih nggak mau ibu nangis," ucap Zenfa.
Marselia mencoba untuk mengendalikan air matanya.
"Ibu paham banget, Kanih pasti bingung. Kenapa ibu sama ayah harus nitipin Kanih kepada orang lain, iya kan?" tanya Marselia. Zenfa masih menggenggam tangan Marselia.
Zenfa mengangguk ragu.
"Dulu, dari SMA ibu sama ayah udah pacaran. Sampai pada akhirnya, kami berencana untuk menikah. Tapi, kakek dan nenek kamu tidak pernah setuju dengan hubungan kami. Alasannya karena satu hal, yaitu kepercayaan. Kita berdua memang beda agama. Tapi, mau bagaimana lagi? Yang namanya cinta tetaplah cinta. Seperti peperangan yang mudah untuk timbul, namun sulit untuk mengakhiri. Rasa yang ibu sama ayah miliki sudah terlalu dalam. Sulit bagi kami untuk saling merelakan."
Zenfa mendengarkannya dengan saksama.
"Opa sama oma nggak ada masalah. Karena mereka juga tinggal di Aussie. Waktu itu, ibu pernah minta izin kepada kakek sama nenek kamu, ibu ingin tetap menikah dengan ayah. Tapi tetap, kakek kamu bersikukuh pada keputusannya untuk melarang ibu menikah dengan ayahmu. Semakin hari, cinta yang kami punya semakin dalam. Akhirnya ibu nekad menikah dengan ayahmu tanpa sepengetahuan kakek dan nenek kamu. Ibu juga pindah agama, ikut ayah. Ibu udah nggak perduli sama ancaman kakek mu. Dia pernah bilang, kalau sampai ibu nekad, mereka menganggap anak mereka hanya tinggal seorang. Ibu bukanlah bagian dari keluarga itu lagi. Dan ternyata kakek mu tidak main-main, setelah semua terbongkar, kakek mu benar-benar nggak anggep ibu sebagai anaknya lagi. Saat itu, ibu sedang mengandung kamu sekitar lima bulan."
Perlahan air mata mulai membasahi pipi Marselia lagi. Mata Zenfa juga ikut terasa perih. Dadanya sedikit sesak.
"Namun ternyata, restu orang tua itu memang sangat berpengaruh dalam kelangsungan rumah tangga kami. Kamu pasti sering mendengar kami bertengkar sebelum kami berpisah, kan? Saat itu sepertinya banyak sekali masalah yang menghampiri dan mendorong kami untuk berpisah. Akhirnya kami memutuskan untuk berpisah."
"Setelah akte cerai keluar dari catatan sipil. Ayah mu bilang, kalau dia tidak ingin membawa kamu. Dia takut tidak bisa mengurus kamu dengan baik. Sementara ibu, ada seseorang yang melamar ibu. Ibu juga nggak tau mengapa secepat itu. Sayangnya pria itu ngasih ibu banyak syarat, namun bisa menjamin hidup ibu. Kita berdua bingung, hubungan ibu sama orang tua dan adik ibu sudah putus. Dan akhirnya, kami memutuskan untuk menitipkan kamu pada sahabat terdekat kami. Yaitu, mas Haryo dan mba Julia, papa dan mama mu saat ini."

KAMU SEDANG MEMBACA
JASENFA
Novela Juvenil[On Going] Seseorang pernah berkata pada Jasmine, "Jangan selalu terfokus pada seseorang yang kamu cinta. Lihat. Di sana ada orang yang selalu mencintai, menyayangi, dan melindungi kamu dengan tulus, lebih dari orang yang kamu cinta." Semenjak saat...